SMK N 1 SRAGI

Selasa, 30 Agustus 2016

RPP PENDIDIKAN AGAMA HINDU KELAS X

Berikut ini adalah RPP Pendidikan Agama Hindu.
Materi Macam-macam Hari Besar dalam agama Hindu|Download

Selasa, 16 Agustus 2016

MATERI AGAMA HINDU

Materi Pembelajaran : Sraddha 

A. Karma Phala 
1. Pengartian Karma Phala
Dari segi etimologi kata karma berasal dari bahasa sansekerta, yaitu dari urut kata “kri” yang artinya berbuat. Sedangkan phala yang juga berasal dari bahsa sansekerta yang berarti buah/hasil. Dari uraian kata-kata diatas maka, karma phala dapat diartikan perbuatan yang didalamnya terkandung akibat yang dilahirkan seperti apa yang telah tersuratdalam filsafat hindu. Karma phala adalah bagian dari panca sraddha yang merupakan pokok keimanan agama hindu. Percaya terhadap adanya karma merupakan sesuatu yang harus diwujudkan dalam diri masing-masing sehingga dengan demikian ajaran karma phala dapat digunakan sebagai pedoman oleh umat hindu dalam kehidupan sehari-hari. Segala yang di buat oleh manusia akan membawa akibat/hasil yaitu ada yang baik dan ada yang buruk. Akibat yang baik akan memberikan kesenangan dan kebahagiaan, sedangkang akibat yang buruk memberikan kesusahan dan kesengsaraan. Oleh karena itu setiap manusia harus berbuat baik, karena semua orang mendambakan adanya kesenangan, ketenangan, dan kebahagiaan dalam kehidupannya. Dalam weda dinyatakan jalan perbuatan/karma yoga sama pentingya dengan pengetahuan, karena perbuatan dipandang sebagaibagian yang amat penting dalam kehidupan ini. Semua karma yang dilakukan seseorang akan menimbulkan sebab dan akibat. Sebab dan akibat merupakan hokum kuasa, yang bersifat alamiah, atas dasar itulah umat hindu selalu mempergunakan hokum karma sebagai pedoman dalam hidupnya. Tentang karma dalam kitab suci disebutkan sbb: niyatam kuru karma tvam, karma jyayohy akarmanah, sarirayatra pi ca te, na prasidhyed akarmanah. (Bhagawad Gita III.8) Artinya: Lakukanlah pekerjaan yang diberikan padamu, karena melakukan perbuatan itu lebih baik sifatnya dari pada tidak melakukan apa-apa, sebagai juga untuk memelihara badanmu tidak akan mungkin jika engkau tidak bekerja. acodyamanami yatha puspani ca, swam kalam natiwartante tatha karma pura krtam. Mwang menget ri masanya tikang purwa karmaphala ngaranya umatang awaknya kramanya, tan kena tinulak, luput dinohaken, kadi angganing pusphala, an an mengetri masanya, dumani çariranya. (Sarassamuscaya 27.354) Artinya: Dan lagi ingat pada masa yang disebut buah hasil perbuatan dulu itu, artinya mendatangkan dirinya sendiri, tidak dapat ditolak, tidak dapat dijauhkan sebagai halnya bunga-bunga dan buah-buahan yang ingat akan musimnya, itulah seakan-akan mengingatkan akan dirinya. 
2. Bagian-Bagian Karma Phala 
Pada hakekatnya manusia tidak dapat lepas dari karma dan akibatnya, karena karma bersifat alami. Manusia adalah makhluk sosial dan sekaligus makhluk individu. Perbuatan yang baik maupun buruk yang dilakukan seseorang dalam interaksinya sebagai makhluk sosial dan makhluk individu akan dinikmati dalam kehidupan didunia dan sesudahnya. Karma Phala dapat dikelompokan menjadi 3 jenis/macam yaitu : 
1. Sancita Karma Phala Sancita karma phala adalah karma/perbuatan dalam kehidupan masa lampau yang baru dapat dinikmati buahnya dalam kehidupan/kelahiran sekarang. 
2. Prarabda Karma Phala Prarabda karma phala adalah karma/perbuatan yang dilakukan dalam kehidupan sekarang yang buahnya dapat diterima sekarang juga dan biasanya habis dalam kehidupan sekarang. 
3. Kriyamana Karma Phala Kriyamana karma phala adalah karma/perbuatan yang buahnya tidak sempat dinikmati pada kehidupan sekarang, tetapi akan dinikmati dikehidupan yang akan datang. 3. Hakekat Hukum Karma Dalam kitab Suci Weda dinyatakan bahwa jalan perbuatan atau Karma Yoga sama pntingnya dengan jalannya pengetahuan, karena perbuatan di pandang sebagai yang amat penting dari kehidupan. Hidup menurut Weda tidak semata-mata mementingkan keduniawian, tanpa juga menyangkut kehidupan moral dan spiritual. Sehubungan dengan itu perjuangan hidup pada hakikatnya adalah perjuangan kebajikan untuk menundukan kejahatan. Sehubungan dengan itu renungkan pernyataan berikut ini : Svaih sa evair mumurat (Reg Weda VIII.97.3) Artinya: Orang yang bersalah mati karena perbuatanya sendiri. Ya Indra sasti-avrato anusvapam adepayuh (Reg Weda VIII.97.3) Artinya: Ya Tuhan Yang Maha Esa, orang yang malas adalah orang yang tidak beriman, tidak giat dan mengutuk, mati karena perbuatanya sendiri. Adhursata svayam ete vacobhir. Rjuyate vrjinani bruvatah. (Reg Weda V.12.5) Artinya: Orang-orang yang tidak berjalan lurus seperti aku, dihancurkan karena kesalahan-kesalahan mereka sendiri. 
4. Cerita Yang Ada Kaitannya Deangan Karma Phala Maharaja Parikesit Pralaya Karena Perbuatannya Pada suatu hari, Raja Parikesit pergi berburu ke tengah hutan. Ia kepayahan mengejar seekor buruan, lalu berhenti untuk beristirahat. Akhirnya ia sampai di sebuah tempat pertapaan di mana tinggal Bagawan Samiti. Ketika itu sang Resi sedang duduk bertapa dan membisu. Tatkala Sang Raja bertanya kemana buruannya pergi, Bagawan Samiti hanya diam membisu karena pantang berkata-kata saat sedang bertapa. Karena pertanyaannya tidak dijawab, Raja Parikesit menjadi marah dan mengambil bangkai ular yang ada di dekatnya dengan anak panahnya, lalu mengalungkannya ke leher Bagawan Samiti. Peristiwa itu kemudian diceritakan Sang Kresa kepada putera Bagawan Samiti yang bernama Sang Srenggi yang pemarah. Saat Sang Srenggi pulang, ia melihat bangkai ular hitam melilit leher ayahnya. Karena marahnya, kemudian Sang Srenggi mengucapkan kutukan bahwa Raja Parikesit akan mati digigit ular dalam tujuh hari sejak kutukan tersebut diucapkan. Bagawan Samiti kecewa terhadap perbuatan puteranya tersebut, yang mengutuk raja yang telah memberikan mereka tempat berlindung. Akhirnya Bagawan Samiti berjanji akan mengurungkan kutukan tersebut. Ia lalu mengutus muridnya untuk memberitahu Sang Raja, namun Sang Raja merasa malu untuk meminta diurungkannya kutukan tersebut dan memilih untuk berlindung. Pada saatnya, Naga Taksaka pergi ke Hastinapura untuk melaksanakan perintah Sang Srenggi untuk menggigit Sang Raja. Penjagaan di Hastinapura sangat ketat. Sang Raja berlindung dalam menara tinggi dan dikelilingi oleh prajurit, brahmana, dan ahli bisa. Untuk dapat membunuh Sang Raja, Naga Taksaka lalu menyamar menjadi ulat dalam buah jambu. Kemudian jambu tersebut disuguhkan kepada Sang Raja. Merasa telah aman, karena saat itu adalah sore hari ke tujuh, Raja Parikesit menjadi lengah. Kutukan tersebut lalu menjadi kenyataan. Ketika jambu hendak dimakan, ulatnya berubah menjadi Naga Taksaka kembali, yang lalu menggigit leher Sang Raja. Parikesit lalu tewas menjadi abu, dan Naga Taksaka pulang ke dalam bumi.

 B. Punarbhawa 
1. Pengertian Punarbhawa 
Kata Punarbhawa berasal dari bahasa Sansekerta, terdiri dari dua kata, yaitu kata punar yang berarti lagi/kembali, dan kata bhawa berarti menjelma. Jadi Punarbhawa berarti kelahiran yang berulang-ulang yang disebut juga penitisan atau samsara. Punarbhawa atau samsara ini terjadi diakibatkan oleh adanya Hukum Karma, dimana karma yang jelek menyebabkan atma (roh) menjelma kembali untuk memperbaiki perbuatannya yang tidak baik, atau karena atma itu masih dipengaruhi oleh Karma Wasana (bekas-bekas atau sisa-sia perbuatan) atau kenikmatan duniawi sehingga tertarik untuk lahir ke dunia. Kelahiran atma yang berulang – ulang ke dunia ini membawa akibat suka-duka. Di dalam kitab suci Bagawanghita Bab IV. 5 Sri Krsna bersabda: Sribhagavan uvaca Bahuni aham vyatitani janmani tava carjuna Tanya ham veda sarvani na twam vettha parantapa (Bhagawad Gita IV.5) Artinya: Sri bhagavaan berkata: Banyak kelahiran-Ku di masa lalu demikian dan pula kelahiran mu,Arjuna Semua ini aku tahu tetapi engkau sendiri tidak, parantapa. Sri Bhagawan Uvaca Bahuni me vyantati janmani tava ca Arjuna, Tanya aham veda sarvani na tvam cttha paramtapa. (Bhagawad Gita IV.9) Artinya: Sri BHagawan Bersabda Banyak kehidupan yang telah banyak Ku jalani dan kemudian pula engaku, O Arjuna, semua kelahiran itu aku ketahui tetapi engkau tidak dapat mengetahuinya. Apabila pada saat kematiannya itu tidak ada bekas-bekas kemewahan (ikatan keduniawiaan), maka ia akan terus bersatu dengan Ida Sang Hyang widhi Wasa dan mencapai tujuan akhir yang di sebut Moksa. Meskipun tujuan akhir manusia adalah untuk mencapai moksa, tetapi kelahiran kitaka dunia sebagai manusia adalah suatu kesempatan untuk meningkatkan kesempurnaa hidup guna mengatasi kesengsaraan, dan juga untuk dapat melenyapkan pengaruh karma (maya) yang merupakan sebab utama timbulnya Punarbhawa atau samsara. Setiap karma yang dilakukan atas dorongan indria dan kenafsuan adalah Asubha Karma karena akibatnya akan menimbulkan dosa, dan atma akan mengalami Neraka serta selanjutnya akan mengalami penjelmaan Punarbhawa dalam tingkat yang lebih rendah. 

2. Hakikat Punarbhawa  
Adanya kelahiran hidup dan mati secara berulang-ulang yang di alami oleh seseorang, sesungguhnya adalah suatu penderitaan yang disebabkan oleh perbuatan di masa hidup yang lampau. Karma pada masa kehidupan yang terdahulu akan membentuk wasana pada badan asalnya, inilah yang menentukan munculnya punarbhawa. Sesungguhnya ajaran karma phala dan punarbhawa merupakan suatu proses, keberadaan Punarbhawa hendaklah dipandang sebagai kesempatan untuk melekukan karma yang baik bukan suatu yang bersifat negatif. Adanya suka dan duka dalam hidup ini, semua itu disebabkan oleh karma dari kehidupan terdahulu dan juga yang sekarang. Dalam hubunganini umat Hindu sangat percaya akan adanyaPunarbhawa secara ratio, karena di luar batas kemampuan pikiran manusia. Maka dengan adanya Punarbhawa, harus diterima melalui keimanan/keyakinan. Renungkanlah sloka dibawah ini : Yesam tv antagatam papam jananam punyakarmanam. (Bhagawad Gita VII.28) Artinya: Akan tetapi bagi mereka yang salah, yang dosanya sudah bebas dari tipuan kedua sifat tadi, Aku menyembah dengan penuh ketekunan dan keyakinan. Manusia memiliki lapisan badan, yaitu: Annamaya Kosa, Pranamaya Kosa, Manomaya Kosa, Wijnanamaya Kosa, dan Anandamaya Kosa. Lapisan badan pertama terbuat dari makanan dan minuman, yang kedua dari prana atau energy, yang ketiga terdiri dari alam pikiran, yang keempat terdiri dari pengetahuan, dan yang terakhir terdiri dari rasa kebahagiaan. Pada lapisan-lapisan badan inilah keberadaan karma wasana itu yang menyebabkan adanya punarbhawa. Kelahiran kita kedunia sesungguhnya sudah terjadi secara berulang-ulang yang dialami oleh sumua orang, tetapi mereka tidak mengetahuinya. Hanya Tuhanlah yang mengetahui tentang kelahiran secara berulang-ulang itu, sedangkan manusia tidak mengetahui karena ia Awidya. Dalam agama Hindu disebutkan bahwa kelahiran Tuhan kedunia yang menjelma sebagai manusia dinamakan Awatara, tujuannya adalah untuk menegakan dharma. Sedangkan tujuan manusia lahir ke dunia untuk memperbaiki karmanya, sehingga ia dapat menyatu dengan Tuhan. 3. Cerita Tentang Punarbhawa Shanti devi Shanti Devi, seorang gadis muda dari India, yang tinggal di Delhi (lahir tahun 1926), yang pada umur tiga tahun mulai mengingat dan bercerita tentang hal-hal dari kehidupan masa lalu di kota Muttra yang jauhnya 80 mil. Dia mengatakan bahwa dia telah menikahi seorang saudagar kain, melahirkan seorang anak laki-laki dan meninggal dunia 10 tahun kemudian, dan banyak pernyataan yang diceritakan secara detail tentang kehidupan masa lalunya sampai ia berumur 9 tahun. Pernyataan-pernyataan tersebut direkam. Suatu komisi dibentuk untuk merencanakan dan menyaksikan kunjungannya ke Muttra, tempat keluarga yang sering disebut oleh Shanti Devi, dan menyaksikan bahwa ia benar-benar mengenali sanak saudaranya yang lain dimasa lalu, mengetahui dengan detail jalan ke rumahnya yang dahulu dikenalinya dan bahkan mengungkapkan bahwa ada uang yang disembunyikannya di dalam rumah tersebut. Tempat persembunyiannya ditemukan dan mantan suaminya mengakui dia telah memindahkan uang tersebut. Swarnlata Mishra Swarnlata Mishra lahir pada keluarga kaya dan intelektual di Pradesh India pada tahun 1948, ketika ia berusia 3 tahun dan bepergian dengan ayahnya melewati kota Katni (lebih dari 100 Mil dari rumahnya), tiba-tiba ia menunjuk dan meminta supir untuk berbelok arah menuju ‘rumahku’ dan mengajak mereka untuk menikmati secangkir teh di sana daripada meneruskan perjalanan. Beberapa saat kemudian, ia menceritakan lebih detail mengenai hidupnya di Katni (semuanya dituliskan oleh ayahnya). Namanya adalah Biya Pathak, dan ketika itu ia punya 2 anak, ia memberikan detail keadaan rumahnya di Zhurkutia, Distrik Katni, ada pintu hitam dengan baut besi, empat ruangan disemen namun di bagian lainnya belum selesai, lantai depan dari batu. Di belakang rumah ada sekolah khusus wanita, di depan jalan ada rel kereta api dan tempat pembakaran kapur yang terlihat dari rumah. Ia menambahkan bahwa keluarga itu mempunyai sepeda motor (barang yang sangat langka di tahun 1950 dan bahkan lebih langka lagi sebelum Swarnlata lahir). Swarnlata katakan bahwa Biya wafat karena ‘sakit di tenggorokan’ dan ia dirawat oleh Dr. S.C Bhabrat di Jabalpur. Ia juga ingat insiden pada satu perkawinan ketika ia dan temannya sulit menemukan kakus. Di musim semi 1959, ketika Swarnlata berusia 10 tahun, berita kasus ini sampai pada Prof. Sri H.N.Banerjee, seorang peneliti penomena paranormal keturunan India yang merupakan rekan sekerja Stevenson. Banerjee membawa catatan yang dibuat ayah swarnlata dan mengunjungi Katni untuk memverifikasi ingatan Swarnlata. Dengan menggunakan deskripsi yang diberikan Swarnalata, ia menemukan rumah keluarga Pathak yang ketika itu telah diperbesar dan mengalami peningkatan daripada tahun 1939 ketika Biya meninggal. Pathak merupakan keluarga yang makmur, terkemuka, terpelajar dengan banyak keterlibatan bisnis. Mereka tidak mempercayai adanya Reinkarnasi. Pembakaran kapur berada di sekitar tanah milik sekolah khusus wanita, 100 yard dibelakang tanah Patak tapi tidak terlihat dari depan. Ia menginterview keluarga dan memverifikasi semua yang dikatakan Swarnlata. Biya Pathak wafat tahun 1939, meninggalkan suami, 2 orang anak lelaki dan banyak adik lelaki. Pathak tidak pernah mendengar tentang keluarga Mishra yang tinggal 100 mil jauhnya dan Mishra pun tidak mempunyai pengetahuan apapun tentang keluarga Pathak. Pada musim panas 1959, Suami Biya, anak dan saudara tertua bepergian ke Chhatarpur, kota tempat tinggal Swarnlata, untuk mencek ingatan Swarnlata. Mereka tidak mengungkapkan identitas dan tujuan mereka pada siapapun di kota, namun terdaftar 9 orang di kota menemani mereka ke rumah Mishar dengan tidak memberitahukan kedatangan mereka terlebih dahulu. Swarnlata segera mengenali kakaknya dan memanggilnya ‘Babu’ panggilan sayang Biya untuknya. Swarnlata yang berusia 10 tahunan berjalan ke sekeliling ruangan kepada tiap orang secara bergilir, beberapa ia kenal sebagai penduduk kotanya, beberapa adalah orang asing baginya. Sesampainya ia di depan Sri Chintamini Pandey, suami Biya, Swarnlata menundukan wajahnya, tersipu malu seperti layaknya istri Hindu ketika berhadapan dengan suaminya dan menyebutkan namanya. Swarnlata juga menyebutkan dengan tepat anak dari kehidupan lampaunya, Murli, yang berusia 13 tahun saat Biya wafat. Murli berencana mengecoh Swarnlata. Selama lebih dari 24 jam bersikeras bahwa ia bukan Murli namun orang lain. Murli juga membawa teman dan juga mencoba mengecoh Swarnlata dengan bersikeras bahwa itu adalah Naresh, anak Biya yang lain, yang seumuran dengan temannya itu. Swarnalata bersikeras bahwa orang itu tidak dikenalnya! Akhirnya Swarnalata mengingatkan Sri Pandey bahwa Pandey pernah mencuri 1200 rupee yang Biya simpan di Box. Sri Pandey mengakui fakta pribadi yang hanya diketahui ia dan istrinya saja! Beberapa minggu kemudian, Swarnalata dan ayahnya ke Katni untuk mengunjungi kampung halaman di mana Biya tinggal dan meninggal. Sesampainya disana, Swarnlata segera mengenali perubahan yang terjadi di rumah itu. Ia menanyakan tentang sandaran di belakang rumah, beranda dan pohon neem yang biasa tumbuh di halaman yang semuanya tidak ada lagi setelah kematian Biya. Ia mengenali kamar biya di mana Biya meninggal. Ia mengenali kakak Biya dan menyatakan sebagai kakak kedua, juga yang ketiga dan yang keempat, istri dari saudara termudanya anak dari kakak keduanya, teman dekat kelurganya (menyebutkan bahwa teman keluarganya itu sekarang memakai kacamata dan dulu tidak) dan istrinya (memanggil namanya ‘Bhoujai’). Ia juga dengan tepat mengidentifikasi pembantu terdahulu, penjual buah pinang tua dan keluarga penggembala sapi, meskipun adik lelakinya berusaha untuk mengetes Swarnlata bahwa penggembala itu sudah wafat. Kemudian, Swarnalata dihadapkan pada ruangan yang penuh dengan orang dan ditanya ada yang dikenalnya atau tidak. Ia dengan tepat menunjuk sepupu laki-laki suaminya, Istri dari ipar Biya, Bidan (yang disapa dengan nama ketika Biya masih hidup, bukan dengan nama saat ini). Anak Biya, Murli dalam satu tes yang lain ia mengenalkan Swarnlata dengan seorang pria yang katakan teman barunya, Bhola. Namun Swarnlata bersikeras bahwa itu adalah anak keduanya, Naresh. Dalam satu tes lain, saudara termuda Biya mengatakan bahwa Biya kehilangan gigi, Swarnlata katakan bahwa Biya mempunyai gigi emas di bagian depan. (Justru si adik lupa bahwa Swarnlata pake gigi emas, namun istrinya si adik menyatakan bahwa yang dikatakan swarnlata itu benar). Swarnlata bertindak sangat Pede, berprilaku sebagai kakak tertua di rumah, akrab dengan nama intim dan rahasia keluarga dan mengingat hubungan perkawinan dan lain-lain. Swarnlata berperilaku sepantasnya dengan tetua Biyam namun ketika berdua dengan anak-anak Biya, ia begitu relaks dan berperilaku seperti ibu, meskipun terlihat jelas kejanggalan bahwa anak 10 tahunan dengan pria-pria di usia pertengahan 30. Saudara-saudara pria di keluarga Pathak dan Swarnlata mengikuti kebiasaan Hindu, Rakhi, di mana kakak dan adik tiap tahun memperbaharui sayang di antara mereka dengan bertukar kado, bahkan keluarga Pathak agak kesal dan kecewa satu tahun ketika Swarnalata lupa upacara itu. Mereka merasa bahwa Swarnlata hidup bersama mereka 40 tahun dan hanya 10 tahun dengan keluarga Mishra jadi merasa lebih berhak atasnya. Ini bukti betapa percayanya keluarga itu bahwa Swarnlata adalah Biya. Mereka mengakui mengubah pandangan mereka tentang reinkarnasi sejak bertemu Swanlata dan mengakui bahwa ia adalah kelahiran kembalinya Biya. Beberapa tahun kemudian, ketika waktunya Swarnlata menikah, Ayah Swarnlata berkonsultasi dengan keluarga Pathak mengenai pilihan suaminya. C. Hubungan Karma Phala Dengan Punarbhawa Percaya dengan adanya karma phala dan punarbhawa merupakan pokok keimanan dalam Agama Hindu. Keduanya memiliki hubungan yang sangat erat satu dengan yang lainnya, dimana munculnya punarbhawa disebabkan oleh adanya karma phala dari kehidupan yang lampau dan yang sekarang. Semua makhluk di dunia ini tidaklah bisa melepaskan diri dari siklus kehidupan ini, sehingga setiap masa kehidupan makhluk itu diharapkan dapat membawa dirinya kearah yang lebih sempurna, bukan sebaliknya. Seseorang yang tidak mengikuti aturan hidup yang ditetapkan oleh Sang Penciptamenyebabkan adanya penjelmaan ketingkat yang rendah. Tetapi terhadap mereka yang disiplin mengikuti aturan hidup yang diwahyukan oleh Tuhan dalam kitab suci Weda akan meningkat penjelmaannya. Hubungan karma phala dengan punarbhawa dinyatakan dalam kitab suci sebagai berikut: San rajaih karmadosairyati, sthawaratam narah wacika, paksimrgatam manasair antyajatitam (Manawadharmasastra XII.9) Artinya: sebagai akibat daripada dosanya yang dilakukan oleh badan, seseorang akan menjadi benda tak bernyawa kelak dikelahirannya, kemudian akibat dosa yang dibuat oleh kata-kata akan menjadi burung atau binatang buas dan sebagai akibat dosanya oleh pikiran akan lahir kekelahiran yang rendah. Dewatwamsattwika yanti, manusyatwam ca rajasah, tiryah twam tamasa nityam ityessa triwidha gatih (Manawadharmasastra XII.40) Artinya: mereka yang memiliki sifat-sifat sattwam akan mencapai alam dewata, mereka yang memiliki sifat-sifat rajas mencapai alam manusia dan mereka yang memiliki sifat-sifat tamas akan terbenam pada sifat-sifat binatang, itulah tiga jenis perbuatan. Bila seseorang banyak berbuat dosa dalam hidupnya, maka menderitalah mereka di dunia dan begitupula sesudahnya. Hendaklah seseorang selalu berbuat baik, agar mendapat pahala yang baik pula. Pandanglah kelahiran sebagai manusia merupakan suatu anugrah Tuhan untuk memperbaiki karma.

Selasa, 09 Agustus 2016

HARI SUCI DALAM AGAMA HINDU

Materi Pembelajaran : Hari Suci 

A. Pengertian Hari Suci Keagamaan 
Hari suci atau rerahinan adalah hari yg diperingati atau di istimewakan berdasarkan kenyakinan bahwa hari itu mempunyai makna bagi kehidupan seseorang/masyarakat karena pengaruhnya dan karna nilai-nilai didalamnya. Bila peringatan hari suci itu dilakukan secara rutin maka acara itu disebut Rerahinan atau sehari-hari. Bila kita pelajari acara rerahinan ini maka hari-hari suci itu ada pada siklus tertentu, dan mempunyai hari puncak dimana hari puncak itu akan kembali kehari permulaan. Hari suci yang dirayakan oleh seluruh umat disebut hari raya atau rerahinan gumi (jagat). Sedangkan hari suci yang dirayakan oleh kelompok-kelompok tertentu disebut dengan nama odalan atau piodalan. Piodalan atau pawedalan berasal dari kata Wedal yang artinya lahir. Jadi pawedalan atau piodalan merupakan hari suci untuk memperingati kelahiran sesuatu (bukan manusia) atau hari jadi suatu Pura (Karena piodalan biasanya ditujukan untuk tempat suci atau sesuatu lainnya seperti Hari suci Galungan disebut sebagai hari pawedalan jagat. 

B. Perhitungan Hari Suci 
Untuk menentukan hari suci, didasarkan atas beberapa perhitungan, diantaranya Wewaran, Pawukon, penanggal, panglong, dan sasih. Hal ini banyak dijelaskan didalam Wariga yaitu pedoman untuk mencari ala-ayuning (baik-buruknya) hari atau dewase. Berbagai macam proses, prinsip dan ketentuan yang melatarbelakangi perhitungan dan pelaksanaan atau perayaan hari-hari suci agama Hindu. Adapun dasar perhitungan yang dimaksud seperti : 
1. Sistem perhitungan wara, yaitu perhitungan yang didasarkan atas adanya wewaran, misalnya perpaduan antara Tri Wara dengan Panca Wara dan Sapta Wara. 
2. Sistem perhitungan wuku, yaitu perhitungan hari Suci yang didasarkan atas pawukon, yakni dai wuku sinta sampai dengan watugunung. 
3. Sistem pranatamasa, yaitu perhitungan hari suci yang didasarkan atas sasih. 
4. Sistem tithi, yaitu perhitungan hari suci yang dihubungkan dengan peredaran bulan, seperti purnama dan tilem. 
5. Sistem naksatra, yaitu hari suci yang dirayakan berdasarkan perhitungan musim atau yang bersifat musiman. 
6. Sistem yoga, yaitu hari suci yang dirayakan berdasarkan perhitungan letak letak tata surya atau planet-planet angkasa. Mengingat keberadaan planet-planet tersebut sangat besar pengaruhnya terhadap kehidupan terutama manusia. 
7. Sistem karana, yaitu hari suci yang dirayakan berdasarkan perhitungan pertemuan antar bulan dengan matahari. 

C. Jenis-Jenis Hari Suci 
Ada dua jenis upacara hari suci, yaitu : 
1. Nitya karma adalah upacara yang dilaksanakan pada hari suci yang bersifat rutin dan umum untuk dilakukan oleh semua umat Hindu. Seperti yadnya sesa atau ngejot. 
2. Naikmitika karma adalah upacara yang bersifat relatif, dilaksanakan menurut tujuan secara khusus dan oleh siapa saja tanpa terikat waktu. Seperti dewa yadnya dan manusa yadnya. 

D. Proses Perayaan Hari Suci
a. Hari Raya Nyepi 
Hari raya Nyepi atau tahun baru Saka merupakan hari raya umat Hindu yng dirayakan setiap tahun baru sekali yang merupakan peringatan tahun baru saka yang jatuh pada tanggal apisan (1) sasih kedasa dan hari raya Nyepi ini telah diakui sebagai hari libur nasional mulai tahun 1983. Berikut rangkaian hari raya Nyepi: 
1. Melasti berasal dari kata Mala = kotoran/ leteh, dan Asti = membuang/ memusnakan. Melasti merupakan rangkaian upacara Nyepi yang bertujuan untuk membersihkan segala kotoran badan dan pikiran (buana alit), dan amertha) bagi kesejahtraan manusia. Pelaksanaan melasti ini biasanya dilakukan dengan membawa arca, pretima, barong yang merupakan simbolis untuk memuja manifestasi Ida Sang Hyang Widhi Wasa diarak oleh umat menuju laut atau sumber air untuk memohon pembersihan dan tirta amertha (air suci kehidupan). 
2. Tawur Agung/Tawur Kesanga atau Pecaruan dilaksanakan sehari menjelang Nyepi yang jatuh tepat pada Tilem Sasih Kesanga. Pecaruan atau Tawur dilaksanakan catuspata pada waktu tengah hari. Filosofi Tawur adalah sebagai berikut tawur artinya membayar atau mengembalikan sari–sari alam yang telah dihisap dan digunakan manusia. Sehingga terjadi keseimbangan maka sari–sari alam itu dikembalika dengan upacara Tawur/Pecaruan yang dipersembahkan kepada Butha sehingga tidak mengganggu manusia melainkan bisa hidup secara harmonis (Butha Somya). Filosofi tawur dilaksanaka pada catuspata menurut Perande Made Gunung agar kita selalu menempatkan diri ditengah alias selalu ingat akan posisi kita, jati diri kita, dan perempatan merupakan lambang tapak dara, lambang keseimbangan, agar kita selalu menjaga keseimbanga dengan atas (Tuhan), bawah (Alam Lingkungan), kiri kanan (Sesama Manusia). 
 3. Nyepi jatuh pada Penanggal Apisan Sasih Kedasa (Tanggal 1 Bulan ke 10 Tahun Caka). Umat Hindu merayakan Nyepi selama 24 jam. Umat diharapkan melaksanakan Catur Brata Penyepian yaitu: 
• Amati Geni Tidak boleh menyalakan api. Amati geni mempunyai makna ganda yaitu tidak melaksanakan kegiatan yang berhubungan dengan menghidupkan api. Disamping itu juga merupakan upaya mengendalikan sikap perilaku agar tidak dipegaruhi oleh api amarah (kroda) dan api serakah (loba). 
• Amati Lelanguan Artinya tidak boleh bersenang – senang atau menikmati hiburan. Amati lelanguan yang dimaksud merupakan kegiatan seseorang mulat sarira atau nawas diri. 
• Amati Karya Artinya tidak boleh bekerja. Amati karya bermakna gada yang artinya tidak bekerja dimaknai sebagai kesempatan untuk mengevaluasi kerja kita apakah aktifitas kerja itu sudah berlandaskan dharma atau sebaliknya. Kerja yang baik (subha karma) dapat menolong manusia terhindar dari penderitaan. Hal yang perlu dilakukan adalah tapa, brata, yoga, dan Samadhi. 
• Amati Lelungan Artinya tidak boleh bepergian. Amati lelungan merupakan salah satu dari empat brata penyepian yang berfungsi sebagai evaluasi diri dan sebagai sumber pengendalian diri. 4. Ngembak Geni berasal dari kata ngembak yang berarti mengalir dan geni yang berarti api yang merupakan symbol dari Brahma (Dewa Pencipta) maknanya pada hari ini tapa berate yang kita laksanakan selama 24 jam (Nyepi) hari ini bisa diakhiri dan kembali beraktifitas seperti biasa, memulai hari yang baru untuk berkarya dan mencipta alias berkreatifitas kembali sesuai swadharma/kewajiban masing – masing. Ngembak geni biasanya diisi dengan kegiata mengunjungi kerabat atau saudara untuk bertegur sapa dan bermaaf – maafan. 

b. Hari Raya Galungan 
Hari raya Galungan diperingati setiap 210 hari sekali yang jatuh pada hari rabu kliwon wuku Dungulan. Hari raya Galungan ini juga disebut sebagai Hari Pawedalan Jagat mengandung makna untuk pemujaan Ida Sanghyang Widhi wasa karena telah menciptakan dunia dengan segala isinya. Selain itu juga Hari raya Galungan merupakan hari kemenangan Dharma melawan Adharma. Hari raya Galungan diperkirakan ada di Indonesia sejak abad XI. Hal ini didasarkan antara lain : Kidung Panji Malat Rasmi dan Pararaton Kerajaan Majapahit. Perayaan semacam ini di India disebut Sraddha Wijaya Dasani Di Bali sebelum Pemerintahan Raja Sri Jaya Kesunu perayaan Galungan pernah tidak dilaksanakan oleh karena Raja-raja pada jaman itu tidak memperhatikan upacara Keagamaan.Hal tersebut berakibat kehidupan rakyat sangat tidak aman serta penderitaan dimana-mana serta umur Raja-raja berumur pendek. Kemudian setelah Raja Sri Jaya Kesunu naik tahta dan mendapatkan pewarah-warah dari Bhatari Durga atas permohonannya maka Galungan kembali dirayakan dengan suatu ketetapan tidak ada galungan batal dilaksanakan. Adapun proses dan runtutan perayaannya adalah: 
1. Tumpek Wariga merupakan proses awal dalam melaksanakan Hari Raya Galungan yakni tepat 25 hari sebelumnya yang jatuh tepat pada Hari Sabtu Kliwon Wuku Wariga. Tumpek ini juga sering disebut dengan Tumpek Pengatag, Tumpek Pengarah, Tumpek Uduh atau Penguduh. Adapun makna dari Tumpek Wariga tersebut adalah memohon keselamatan kepada semua tumbuh-tumbuhan agar dapat hidup dengan sempurna dan dapat memberikan hasil untuk bekal merayakan Galungan. 
2. Hari Sugihan Jawa dirayakan setiap 210 hari atau 6 bulan sekali pada hari Kamis Wage wuku Sungsang tepat 6 hari sebelum hari Galungan. Perayaan Sugihan Jawa bermakna memohon kesucian terhadap Bhuwana Agung (Alam semesta). 
3. Hari Sugihan Bali dirayakan juga setiap 6 bulan sekali pada hari Jumat Kliwon wuku Sungsang yaitu 5 hari Galungan,sehari setelah Sugihan Jawa.cuma bedanya untuk hari sugihan Bali memohon keselamatan terhadap Bhuwana Alit atau diri masing-masing perorangan. 
4. Hari Penyekeban. Pada hari penyekeban yang jatuh pada Minggu Paing wuku Dungulan atau 3 hari sebelum Galungan. Hari Penyekeban bagi masyarakat umum dimaknai sebagai hari penyekeban buah-buahan yang akan dipakai sarana persembahyangan. Sehingga tepat di Hari Galungan nanti diharapkan semua buah-buahan sudah masak. Tetapi secara Epistemologi Hari Penyekeban bermakna menyekeb atau pengendalian diri, karena diyakini pada hari ini Sang Tiga Wisesa Kala mulai turun menggoda kemampuan serta keyakinan manusia. Hal ini disebutkan “Anyekung Jnana Suaha Nirmala agar terhindar dari Godaan-godaan. 
5. Hari Penyajaan Galungan jatuh pada Senen/Soma Pon wuku Dungulan 2 hari sebelum Galungan. Pada hari ini dipergunakan sebagai hari persiapan membuat jajan bagi masyarakat umum. Dan juga diyakini pada hari ini turunnya sang Bhuta Dungulan untuk menguji kesungguhan hati Umat Hindu didalam menyambut Hari besar Galungan. Patut diwaspadai pada hari ini akan banyak godaan-godaan menguji kesabaran manusia. 
6. Hari Penampahan Galungan jatuh pada Selasa/Anggara Wage wuku dungulan sehari sebelum Hari Raya Galungan. Pada hari ini bagi para Bapak-bapak melaksanakan pemotongan hewan, membuat sate, lawar dan lain sebagainya. Sedangkan bagi Ibu-ibu dan remaja putri metanding/mengatur sesajen/bebantenan yang akan dipergunakan esok harinya. Patut diwaspadai pula pada hari ini diyakini turunnya Bhuta Amangkurat yang akan menggoda manusia dimuka bumi. Hindari pertengkaran di hari ini. Pada sore harinya seluruh anggota keluarga melaksanakan upacara Biyakala serta membuat Penjor. 
7. Hari raya Galungan jatuh pada hari Rabu/Buda Kliwon wuku dungulan, merupakan Puncak Upacara peringatan Kemenangan Dharma melawan Adharma. Pada hari ini seluruh Umat Hindu melaksanakan persembahyangan ditempat-tempat suci seperti Pura, Candi dan sebagainya sebagai wujud kebahagiaan telah melalui masa-masa godaan oleh sang Bhuta Dungulan. 
8. Hari Peraridan Guru jatuh pada hari Sabtu/Saniscara Pon Wuku Dungulan. Pada hari ini semua umat Hindu mensucikan diri dengan mandi di Pantai serta sumber mata air dilanjutkan memohon keselamatan dengan makan sisa Yajnya berupa Tumpeng Guru bersama seluruh anggota keluarga. 
9. Hari Raya Kuningan juga merupakan runtutan dari hari raya Galungan dimana datangnya 10 hari setelah hari raya Galungan. Hari Kuningan merupakan hari Pertahanan/Kekuatan/Hari Pahlawan. Pada hari Kuningan juga seluru umat Hindu melaksanakan persembahyangan di tempat-tempat suci seperti halnya hari raya Galungan. Akan tetapi disarankan pada hari ini Umat melaksanakan persembahyan sebelum matahari condong ke Barat. Dengan kata lain tidak disarankan melaksanakan persembahyan di Sore hari. Sarana upakara yang dipergunakan pada hari Kuningan melambangkan kesemarakan dan kemeriahan terdiri dari berbagai macam jejahitan yang memiliki simbol alat-alat perang diantaranya Tamiyang kolem,Endongan wayang-wayang dan lain sebagainya. 
10. Budha Kliwon Pegatuakan jatuh pada hari Buda/Rabu Kliwon Wuku Pahang. Pegatuakan memiliki dua suku kata yakni Pegat dan Uwakan yang artinya Pegat=Putus dan Uwakan=Bebas. Jadi arti dari hari Pegatuakan ini adalah Hari kebebasan dari pantangan-pantangan yang berlaku dari mulainya runtutan perayaan Hari raya Galungan dan Kuningan. Seperti diketahui, mulai sejak wuku Sungsang hingga Wuku Pahang terutama Wuku Dungulan hingga Buda Kliwon wuku Pahang,disebut “nguncal balung”. Nguncal=Melempar,membuang,melepas dan Balung=Tulang. Jadi arti kata nguncal balung merupakan dilepaskannya sifat-sifat Kala dari Sanghyang Kala Tiga baik dalam wujud Purusa (Kala Rudra) maupun dalam wujud Pradhana(Dhurga Murti)sehingga kembali dalam keadaan Somia/Tenang. Pada hari ini juga seluru sarana upakara hari Galungan dan Kuningan di prelina/disaag seperti halnya Penjor dicabut serta hiasannya dibakar dan abunya ditanam dipekarangan rumah. 

E. Prinsip-Prinsip Pokok Hari Suci Keagamaan 
Pemujaan atau penghormatan kepada Ida Sang Hyang Widhi dengan segala manifestasinya di selenggarakan dengan yadnya. Pelaksaan yadnyta tersebut sudah memiliki ketentuan seperti dalam lontar Sundhari Gama. Hal ini diatur menjadi 5 bagian, yaitu : 
1. Hari raya atau Yadnya yang dilakukan setiap hari. 
2. Hari raya berdasarkan pertemuan tri wara dan panca wara. 
3. Hari raya berdasarkan pertemuan sapta wara dan panca wara. 
4. Hari raya berdasarkan pawukon. 
5. Hari raya berdasarkan sasih. 
a. Hari Raya /Yadnya Yang Dilakukan Setiap Hari. Sesuai dengan namanya, yadnya ini di lakukan setiap hari. Contohnya para sulinggih melakukan Surya Sewana, umat hindu melakukan Tri Sandya, Tapa Yadnya, Yoga Yadnya, Swadhyaya Yadnya dan Dyana Yadnya. Selain itu yang terpenting adalah Yadnya sesa. Yadnya sesa adalah Yadnya yang dilakukan setiap habis memasak dan d tujukan pada Ida Sang Hyang Widhi Wasa dengan segala kekuatannya. 
b. Hari Raya Berdasarkan pertemuan Tri Wara dan Panca Wara. Kajeng Kliwon adalah hari raya berdasarkan pertemuan Tri wara dan Panca wara. Karena kejeng adalah bagian dari Tri wara (Pasah,Beteng,Kajeng) dan Kliwon merupakan bagian dari Panca Wara (Umanis, Pahing, Pon, Wage, Kliwon). Ketika kajeng dan kliwon bertemu, maka di sebutlah hari raya kajeng kliwon yang datangnya 15 hari sekali. 
c. Hari Raya Pertemuan Sapta Wara dan Panca Wara. Anggara Kliwon, Budha Wage, Saniscara Kliwon(tumpek) adalah hari raya berdasarkan pertemuan Sapta wara dan Panca wara. Karena anggara,budha, dan saniscara adalah bagian dari sapta wara sedangkan kliwon dan wage adalah bagian dari panca wara. 
d. Hari Raya Berdasarkan Pawukon. Budha Kliwon Dungulan(Galungan) adalah salah satu contoh hari raya berdasarkan wuku. Karena hanya pada wuku Dungulan tersebut pada hari pertemuan Budha dan kliwon di sebut hari raya Galungan. Jika ada pertemuan budha dan kliwon di wuku yang lain tidak bisa di katakan hari raya Galungan. 
e. Hari Raya Berdasarkan Sasih Siwa Ratri adalah salah satu contoh hari raya berdasarkan sasih. Karena pada hari Siwaratri hanya di rayakan pada Purwaning sasih kapitu. Tidak mungkin hari raya Siwa Ratri di rayakan di purnawing sasih lainnya. 

F. Penentuan Hari Baik/Buruknya 
Berdasarkan perhitungan Hindu Wewaran merupakn salah satu unsur yang membangun sistem wariga yng akan melahirkan pedewasaan yang baik untuk suatu kegiatan dan tidak baik untuk kegiatan yang lain. Berikut adalah sifat-sifat wewaran: 
1. Ekawara : Luang berarti tunggal (kosong) 
2. Dwiwara : Menga berarti terbuka (terang), Pepet berarti tertutup (gelap) 
3. Triwara : Pasah/Dora berarti tersisih, baik untuk Dewa Yadnya, Beteng/Waya berarti makmur, baik untuk Manusia Yadnya, Kajeng/Byantara berarti tekanan tajam, baik untuk Bhuta Yadnya. 
4. Caturwara : Sri berarti kemakmuran, Laba berarti berhasil (pemberian), Jaya berarti kemenangan (unggul), Mandala berarti sekitar (daerah), mencapai kemakmuran 
5. Pancawara : Umanis berarti rasa, Paing berarti cipta, Pon berarti idep, Berarti Angen, Kliwon berarti Budhi 
6. Sadwara : Tungleh berarti tak kekal, Aryang berarti kurus, Urukung berarti Punah, Paniron berarti gemuk, Was berarti kuat, Maulu berarti membiak 
7. Saptawara : Redite berarti soca menanam semua yang beruas, Soma berarti bungkah menanam umbi-umbian, Anggara berarti godhong menanam sayur-sayuran daun, Buda berarti kembang menanam semua jenis bunga, Wraspati, berarti wija menanam yang menghasilkan biji, Sukra berarti woh menanam buah-buahan, Saniscara berarti pager menanam pagar atau turus 
8. Astawara : Sri berarti makmur (pengatur), Indra berarti indah (penggerak), Guru berarti tuntunan (penuntun), Yama berarti adil (peradilan), Rudra berarti peleburan, Brahma berarti pencipta, Kala berarti nilai, Uma berarti pemelihara (peneliti) 
9. Sangawara : Dangu artinya antara terang dan gelap, Jangur artinya antara jadi dan batal, Gigis artinya sederhana, Nohan artinya gembira, Ogan artinya bingung, Erangan artinya dendam, Urungan artinya batal, Tulus artinya langsung, Dadi artinya dadi 
10. Dasawara : Pandita artinya bijaksana, Pati artinya tegas/dinamis, Suka artinya gembira/periang, Duka artinya mudah tersinggung, tetapi jiwanya seni, Sri artinya kewanitaan, perasaan halus, Manuh artinya selalu taat, menurut, Manusa artinya mempunyai rasa sosial, Raja artinya mempunyai jiwa kemimpinan, Dewa artinyamempunyai budi luhur (kerokhanian), Raksasa artinya mempunyai jiwa, keras dengan tidak melakukan Pertimbangan.