SMK N 1 SRAGI

Selasa, 16 Agustus 2016

MATERI AGAMA HINDU

Materi Pembelajaran : Sraddha 

A. Karma Phala 
1. Pengartian Karma Phala
Dari segi etimologi kata karma berasal dari bahasa sansekerta, yaitu dari urut kata “kri” yang artinya berbuat. Sedangkan phala yang juga berasal dari bahsa sansekerta yang berarti buah/hasil. Dari uraian kata-kata diatas maka, karma phala dapat diartikan perbuatan yang didalamnya terkandung akibat yang dilahirkan seperti apa yang telah tersuratdalam filsafat hindu. Karma phala adalah bagian dari panca sraddha yang merupakan pokok keimanan agama hindu. Percaya terhadap adanya karma merupakan sesuatu yang harus diwujudkan dalam diri masing-masing sehingga dengan demikian ajaran karma phala dapat digunakan sebagai pedoman oleh umat hindu dalam kehidupan sehari-hari. Segala yang di buat oleh manusia akan membawa akibat/hasil yaitu ada yang baik dan ada yang buruk. Akibat yang baik akan memberikan kesenangan dan kebahagiaan, sedangkang akibat yang buruk memberikan kesusahan dan kesengsaraan. Oleh karena itu setiap manusia harus berbuat baik, karena semua orang mendambakan adanya kesenangan, ketenangan, dan kebahagiaan dalam kehidupannya. Dalam weda dinyatakan jalan perbuatan/karma yoga sama pentingya dengan pengetahuan, karena perbuatan dipandang sebagaibagian yang amat penting dalam kehidupan ini. Semua karma yang dilakukan seseorang akan menimbulkan sebab dan akibat. Sebab dan akibat merupakan hokum kuasa, yang bersifat alamiah, atas dasar itulah umat hindu selalu mempergunakan hokum karma sebagai pedoman dalam hidupnya. Tentang karma dalam kitab suci disebutkan sbb: niyatam kuru karma tvam, karma jyayohy akarmanah, sarirayatra pi ca te, na prasidhyed akarmanah. (Bhagawad Gita III.8) Artinya: Lakukanlah pekerjaan yang diberikan padamu, karena melakukan perbuatan itu lebih baik sifatnya dari pada tidak melakukan apa-apa, sebagai juga untuk memelihara badanmu tidak akan mungkin jika engkau tidak bekerja. acodyamanami yatha puspani ca, swam kalam natiwartante tatha karma pura krtam. Mwang menget ri masanya tikang purwa karmaphala ngaranya umatang awaknya kramanya, tan kena tinulak, luput dinohaken, kadi angganing pusphala, an an mengetri masanya, dumani çariranya. (Sarassamuscaya 27.354) Artinya: Dan lagi ingat pada masa yang disebut buah hasil perbuatan dulu itu, artinya mendatangkan dirinya sendiri, tidak dapat ditolak, tidak dapat dijauhkan sebagai halnya bunga-bunga dan buah-buahan yang ingat akan musimnya, itulah seakan-akan mengingatkan akan dirinya. 
2. Bagian-Bagian Karma Phala 
Pada hakekatnya manusia tidak dapat lepas dari karma dan akibatnya, karena karma bersifat alami. Manusia adalah makhluk sosial dan sekaligus makhluk individu. Perbuatan yang baik maupun buruk yang dilakukan seseorang dalam interaksinya sebagai makhluk sosial dan makhluk individu akan dinikmati dalam kehidupan didunia dan sesudahnya. Karma Phala dapat dikelompokan menjadi 3 jenis/macam yaitu : 
1. Sancita Karma Phala Sancita karma phala adalah karma/perbuatan dalam kehidupan masa lampau yang baru dapat dinikmati buahnya dalam kehidupan/kelahiran sekarang. 
2. Prarabda Karma Phala Prarabda karma phala adalah karma/perbuatan yang dilakukan dalam kehidupan sekarang yang buahnya dapat diterima sekarang juga dan biasanya habis dalam kehidupan sekarang. 
3. Kriyamana Karma Phala Kriyamana karma phala adalah karma/perbuatan yang buahnya tidak sempat dinikmati pada kehidupan sekarang, tetapi akan dinikmati dikehidupan yang akan datang. 3. Hakekat Hukum Karma Dalam kitab Suci Weda dinyatakan bahwa jalan perbuatan atau Karma Yoga sama pntingnya dengan jalannya pengetahuan, karena perbuatan di pandang sebagai yang amat penting dari kehidupan. Hidup menurut Weda tidak semata-mata mementingkan keduniawian, tanpa juga menyangkut kehidupan moral dan spiritual. Sehubungan dengan itu perjuangan hidup pada hakikatnya adalah perjuangan kebajikan untuk menundukan kejahatan. Sehubungan dengan itu renungkan pernyataan berikut ini : Svaih sa evair mumurat (Reg Weda VIII.97.3) Artinya: Orang yang bersalah mati karena perbuatanya sendiri. Ya Indra sasti-avrato anusvapam adepayuh (Reg Weda VIII.97.3) Artinya: Ya Tuhan Yang Maha Esa, orang yang malas adalah orang yang tidak beriman, tidak giat dan mengutuk, mati karena perbuatanya sendiri. Adhursata svayam ete vacobhir. Rjuyate vrjinani bruvatah. (Reg Weda V.12.5) Artinya: Orang-orang yang tidak berjalan lurus seperti aku, dihancurkan karena kesalahan-kesalahan mereka sendiri. 
4. Cerita Yang Ada Kaitannya Deangan Karma Phala Maharaja Parikesit Pralaya Karena Perbuatannya Pada suatu hari, Raja Parikesit pergi berburu ke tengah hutan. Ia kepayahan mengejar seekor buruan, lalu berhenti untuk beristirahat. Akhirnya ia sampai di sebuah tempat pertapaan di mana tinggal Bagawan Samiti. Ketika itu sang Resi sedang duduk bertapa dan membisu. Tatkala Sang Raja bertanya kemana buruannya pergi, Bagawan Samiti hanya diam membisu karena pantang berkata-kata saat sedang bertapa. Karena pertanyaannya tidak dijawab, Raja Parikesit menjadi marah dan mengambil bangkai ular yang ada di dekatnya dengan anak panahnya, lalu mengalungkannya ke leher Bagawan Samiti. Peristiwa itu kemudian diceritakan Sang Kresa kepada putera Bagawan Samiti yang bernama Sang Srenggi yang pemarah. Saat Sang Srenggi pulang, ia melihat bangkai ular hitam melilit leher ayahnya. Karena marahnya, kemudian Sang Srenggi mengucapkan kutukan bahwa Raja Parikesit akan mati digigit ular dalam tujuh hari sejak kutukan tersebut diucapkan. Bagawan Samiti kecewa terhadap perbuatan puteranya tersebut, yang mengutuk raja yang telah memberikan mereka tempat berlindung. Akhirnya Bagawan Samiti berjanji akan mengurungkan kutukan tersebut. Ia lalu mengutus muridnya untuk memberitahu Sang Raja, namun Sang Raja merasa malu untuk meminta diurungkannya kutukan tersebut dan memilih untuk berlindung. Pada saatnya, Naga Taksaka pergi ke Hastinapura untuk melaksanakan perintah Sang Srenggi untuk menggigit Sang Raja. Penjagaan di Hastinapura sangat ketat. Sang Raja berlindung dalam menara tinggi dan dikelilingi oleh prajurit, brahmana, dan ahli bisa. Untuk dapat membunuh Sang Raja, Naga Taksaka lalu menyamar menjadi ulat dalam buah jambu. Kemudian jambu tersebut disuguhkan kepada Sang Raja. Merasa telah aman, karena saat itu adalah sore hari ke tujuh, Raja Parikesit menjadi lengah. Kutukan tersebut lalu menjadi kenyataan. Ketika jambu hendak dimakan, ulatnya berubah menjadi Naga Taksaka kembali, yang lalu menggigit leher Sang Raja. Parikesit lalu tewas menjadi abu, dan Naga Taksaka pulang ke dalam bumi.

 B. Punarbhawa 
1. Pengertian Punarbhawa 
Kata Punarbhawa berasal dari bahasa Sansekerta, terdiri dari dua kata, yaitu kata punar yang berarti lagi/kembali, dan kata bhawa berarti menjelma. Jadi Punarbhawa berarti kelahiran yang berulang-ulang yang disebut juga penitisan atau samsara. Punarbhawa atau samsara ini terjadi diakibatkan oleh adanya Hukum Karma, dimana karma yang jelek menyebabkan atma (roh) menjelma kembali untuk memperbaiki perbuatannya yang tidak baik, atau karena atma itu masih dipengaruhi oleh Karma Wasana (bekas-bekas atau sisa-sia perbuatan) atau kenikmatan duniawi sehingga tertarik untuk lahir ke dunia. Kelahiran atma yang berulang – ulang ke dunia ini membawa akibat suka-duka. Di dalam kitab suci Bagawanghita Bab IV. 5 Sri Krsna bersabda: Sribhagavan uvaca Bahuni aham vyatitani janmani tava carjuna Tanya ham veda sarvani na twam vettha parantapa (Bhagawad Gita IV.5) Artinya: Sri bhagavaan berkata: Banyak kelahiran-Ku di masa lalu demikian dan pula kelahiran mu,Arjuna Semua ini aku tahu tetapi engkau sendiri tidak, parantapa. Sri Bhagawan Uvaca Bahuni me vyantati janmani tava ca Arjuna, Tanya aham veda sarvani na tvam cttha paramtapa. (Bhagawad Gita IV.9) Artinya: Sri BHagawan Bersabda Banyak kehidupan yang telah banyak Ku jalani dan kemudian pula engaku, O Arjuna, semua kelahiran itu aku ketahui tetapi engkau tidak dapat mengetahuinya. Apabila pada saat kematiannya itu tidak ada bekas-bekas kemewahan (ikatan keduniawiaan), maka ia akan terus bersatu dengan Ida Sang Hyang widhi Wasa dan mencapai tujuan akhir yang di sebut Moksa. Meskipun tujuan akhir manusia adalah untuk mencapai moksa, tetapi kelahiran kitaka dunia sebagai manusia adalah suatu kesempatan untuk meningkatkan kesempurnaa hidup guna mengatasi kesengsaraan, dan juga untuk dapat melenyapkan pengaruh karma (maya) yang merupakan sebab utama timbulnya Punarbhawa atau samsara. Setiap karma yang dilakukan atas dorongan indria dan kenafsuan adalah Asubha Karma karena akibatnya akan menimbulkan dosa, dan atma akan mengalami Neraka serta selanjutnya akan mengalami penjelmaan Punarbhawa dalam tingkat yang lebih rendah. 

2. Hakikat Punarbhawa  
Adanya kelahiran hidup dan mati secara berulang-ulang yang di alami oleh seseorang, sesungguhnya adalah suatu penderitaan yang disebabkan oleh perbuatan di masa hidup yang lampau. Karma pada masa kehidupan yang terdahulu akan membentuk wasana pada badan asalnya, inilah yang menentukan munculnya punarbhawa. Sesungguhnya ajaran karma phala dan punarbhawa merupakan suatu proses, keberadaan Punarbhawa hendaklah dipandang sebagai kesempatan untuk melekukan karma yang baik bukan suatu yang bersifat negatif. Adanya suka dan duka dalam hidup ini, semua itu disebabkan oleh karma dari kehidupan terdahulu dan juga yang sekarang. Dalam hubunganini umat Hindu sangat percaya akan adanyaPunarbhawa secara ratio, karena di luar batas kemampuan pikiran manusia. Maka dengan adanya Punarbhawa, harus diterima melalui keimanan/keyakinan. Renungkanlah sloka dibawah ini : Yesam tv antagatam papam jananam punyakarmanam. (Bhagawad Gita VII.28) Artinya: Akan tetapi bagi mereka yang salah, yang dosanya sudah bebas dari tipuan kedua sifat tadi, Aku menyembah dengan penuh ketekunan dan keyakinan. Manusia memiliki lapisan badan, yaitu: Annamaya Kosa, Pranamaya Kosa, Manomaya Kosa, Wijnanamaya Kosa, dan Anandamaya Kosa. Lapisan badan pertama terbuat dari makanan dan minuman, yang kedua dari prana atau energy, yang ketiga terdiri dari alam pikiran, yang keempat terdiri dari pengetahuan, dan yang terakhir terdiri dari rasa kebahagiaan. Pada lapisan-lapisan badan inilah keberadaan karma wasana itu yang menyebabkan adanya punarbhawa. Kelahiran kita kedunia sesungguhnya sudah terjadi secara berulang-ulang yang dialami oleh sumua orang, tetapi mereka tidak mengetahuinya. Hanya Tuhanlah yang mengetahui tentang kelahiran secara berulang-ulang itu, sedangkan manusia tidak mengetahui karena ia Awidya. Dalam agama Hindu disebutkan bahwa kelahiran Tuhan kedunia yang menjelma sebagai manusia dinamakan Awatara, tujuannya adalah untuk menegakan dharma. Sedangkan tujuan manusia lahir ke dunia untuk memperbaiki karmanya, sehingga ia dapat menyatu dengan Tuhan. 3. Cerita Tentang Punarbhawa Shanti devi Shanti Devi, seorang gadis muda dari India, yang tinggal di Delhi (lahir tahun 1926), yang pada umur tiga tahun mulai mengingat dan bercerita tentang hal-hal dari kehidupan masa lalu di kota Muttra yang jauhnya 80 mil. Dia mengatakan bahwa dia telah menikahi seorang saudagar kain, melahirkan seorang anak laki-laki dan meninggal dunia 10 tahun kemudian, dan banyak pernyataan yang diceritakan secara detail tentang kehidupan masa lalunya sampai ia berumur 9 tahun. Pernyataan-pernyataan tersebut direkam. Suatu komisi dibentuk untuk merencanakan dan menyaksikan kunjungannya ke Muttra, tempat keluarga yang sering disebut oleh Shanti Devi, dan menyaksikan bahwa ia benar-benar mengenali sanak saudaranya yang lain dimasa lalu, mengetahui dengan detail jalan ke rumahnya yang dahulu dikenalinya dan bahkan mengungkapkan bahwa ada uang yang disembunyikannya di dalam rumah tersebut. Tempat persembunyiannya ditemukan dan mantan suaminya mengakui dia telah memindahkan uang tersebut. Swarnlata Mishra Swarnlata Mishra lahir pada keluarga kaya dan intelektual di Pradesh India pada tahun 1948, ketika ia berusia 3 tahun dan bepergian dengan ayahnya melewati kota Katni (lebih dari 100 Mil dari rumahnya), tiba-tiba ia menunjuk dan meminta supir untuk berbelok arah menuju ‘rumahku’ dan mengajak mereka untuk menikmati secangkir teh di sana daripada meneruskan perjalanan. Beberapa saat kemudian, ia menceritakan lebih detail mengenai hidupnya di Katni (semuanya dituliskan oleh ayahnya). Namanya adalah Biya Pathak, dan ketika itu ia punya 2 anak, ia memberikan detail keadaan rumahnya di Zhurkutia, Distrik Katni, ada pintu hitam dengan baut besi, empat ruangan disemen namun di bagian lainnya belum selesai, lantai depan dari batu. Di belakang rumah ada sekolah khusus wanita, di depan jalan ada rel kereta api dan tempat pembakaran kapur yang terlihat dari rumah. Ia menambahkan bahwa keluarga itu mempunyai sepeda motor (barang yang sangat langka di tahun 1950 dan bahkan lebih langka lagi sebelum Swarnlata lahir). Swarnlata katakan bahwa Biya wafat karena ‘sakit di tenggorokan’ dan ia dirawat oleh Dr. S.C Bhabrat di Jabalpur. Ia juga ingat insiden pada satu perkawinan ketika ia dan temannya sulit menemukan kakus. Di musim semi 1959, ketika Swarnlata berusia 10 tahun, berita kasus ini sampai pada Prof. Sri H.N.Banerjee, seorang peneliti penomena paranormal keturunan India yang merupakan rekan sekerja Stevenson. Banerjee membawa catatan yang dibuat ayah swarnlata dan mengunjungi Katni untuk memverifikasi ingatan Swarnlata. Dengan menggunakan deskripsi yang diberikan Swarnalata, ia menemukan rumah keluarga Pathak yang ketika itu telah diperbesar dan mengalami peningkatan daripada tahun 1939 ketika Biya meninggal. Pathak merupakan keluarga yang makmur, terkemuka, terpelajar dengan banyak keterlibatan bisnis. Mereka tidak mempercayai adanya Reinkarnasi. Pembakaran kapur berada di sekitar tanah milik sekolah khusus wanita, 100 yard dibelakang tanah Patak tapi tidak terlihat dari depan. Ia menginterview keluarga dan memverifikasi semua yang dikatakan Swarnlata. Biya Pathak wafat tahun 1939, meninggalkan suami, 2 orang anak lelaki dan banyak adik lelaki. Pathak tidak pernah mendengar tentang keluarga Mishra yang tinggal 100 mil jauhnya dan Mishra pun tidak mempunyai pengetahuan apapun tentang keluarga Pathak. Pada musim panas 1959, Suami Biya, anak dan saudara tertua bepergian ke Chhatarpur, kota tempat tinggal Swarnlata, untuk mencek ingatan Swarnlata. Mereka tidak mengungkapkan identitas dan tujuan mereka pada siapapun di kota, namun terdaftar 9 orang di kota menemani mereka ke rumah Mishar dengan tidak memberitahukan kedatangan mereka terlebih dahulu. Swarnlata segera mengenali kakaknya dan memanggilnya ‘Babu’ panggilan sayang Biya untuknya. Swarnlata yang berusia 10 tahunan berjalan ke sekeliling ruangan kepada tiap orang secara bergilir, beberapa ia kenal sebagai penduduk kotanya, beberapa adalah orang asing baginya. Sesampainya ia di depan Sri Chintamini Pandey, suami Biya, Swarnlata menundukan wajahnya, tersipu malu seperti layaknya istri Hindu ketika berhadapan dengan suaminya dan menyebutkan namanya. Swarnlata juga menyebutkan dengan tepat anak dari kehidupan lampaunya, Murli, yang berusia 13 tahun saat Biya wafat. Murli berencana mengecoh Swarnlata. Selama lebih dari 24 jam bersikeras bahwa ia bukan Murli namun orang lain. Murli juga membawa teman dan juga mencoba mengecoh Swarnlata dengan bersikeras bahwa itu adalah Naresh, anak Biya yang lain, yang seumuran dengan temannya itu. Swarnalata bersikeras bahwa orang itu tidak dikenalnya! Akhirnya Swarnalata mengingatkan Sri Pandey bahwa Pandey pernah mencuri 1200 rupee yang Biya simpan di Box. Sri Pandey mengakui fakta pribadi yang hanya diketahui ia dan istrinya saja! Beberapa minggu kemudian, Swarnalata dan ayahnya ke Katni untuk mengunjungi kampung halaman di mana Biya tinggal dan meninggal. Sesampainya disana, Swarnlata segera mengenali perubahan yang terjadi di rumah itu. Ia menanyakan tentang sandaran di belakang rumah, beranda dan pohon neem yang biasa tumbuh di halaman yang semuanya tidak ada lagi setelah kematian Biya. Ia mengenali kamar biya di mana Biya meninggal. Ia mengenali kakak Biya dan menyatakan sebagai kakak kedua, juga yang ketiga dan yang keempat, istri dari saudara termudanya anak dari kakak keduanya, teman dekat kelurganya (menyebutkan bahwa teman keluarganya itu sekarang memakai kacamata dan dulu tidak) dan istrinya (memanggil namanya ‘Bhoujai’). Ia juga dengan tepat mengidentifikasi pembantu terdahulu, penjual buah pinang tua dan keluarga penggembala sapi, meskipun adik lelakinya berusaha untuk mengetes Swarnlata bahwa penggembala itu sudah wafat. Kemudian, Swarnalata dihadapkan pada ruangan yang penuh dengan orang dan ditanya ada yang dikenalnya atau tidak. Ia dengan tepat menunjuk sepupu laki-laki suaminya, Istri dari ipar Biya, Bidan (yang disapa dengan nama ketika Biya masih hidup, bukan dengan nama saat ini). Anak Biya, Murli dalam satu tes yang lain ia mengenalkan Swarnlata dengan seorang pria yang katakan teman barunya, Bhola. Namun Swarnlata bersikeras bahwa itu adalah anak keduanya, Naresh. Dalam satu tes lain, saudara termuda Biya mengatakan bahwa Biya kehilangan gigi, Swarnlata katakan bahwa Biya mempunyai gigi emas di bagian depan. (Justru si adik lupa bahwa Swarnlata pake gigi emas, namun istrinya si adik menyatakan bahwa yang dikatakan swarnlata itu benar). Swarnlata bertindak sangat Pede, berprilaku sebagai kakak tertua di rumah, akrab dengan nama intim dan rahasia keluarga dan mengingat hubungan perkawinan dan lain-lain. Swarnlata berperilaku sepantasnya dengan tetua Biyam namun ketika berdua dengan anak-anak Biya, ia begitu relaks dan berperilaku seperti ibu, meskipun terlihat jelas kejanggalan bahwa anak 10 tahunan dengan pria-pria di usia pertengahan 30. Saudara-saudara pria di keluarga Pathak dan Swarnlata mengikuti kebiasaan Hindu, Rakhi, di mana kakak dan adik tiap tahun memperbaharui sayang di antara mereka dengan bertukar kado, bahkan keluarga Pathak agak kesal dan kecewa satu tahun ketika Swarnalata lupa upacara itu. Mereka merasa bahwa Swarnlata hidup bersama mereka 40 tahun dan hanya 10 tahun dengan keluarga Mishra jadi merasa lebih berhak atasnya. Ini bukti betapa percayanya keluarga itu bahwa Swarnlata adalah Biya. Mereka mengakui mengubah pandangan mereka tentang reinkarnasi sejak bertemu Swanlata dan mengakui bahwa ia adalah kelahiran kembalinya Biya. Beberapa tahun kemudian, ketika waktunya Swarnlata menikah, Ayah Swarnlata berkonsultasi dengan keluarga Pathak mengenai pilihan suaminya. C. Hubungan Karma Phala Dengan Punarbhawa Percaya dengan adanya karma phala dan punarbhawa merupakan pokok keimanan dalam Agama Hindu. Keduanya memiliki hubungan yang sangat erat satu dengan yang lainnya, dimana munculnya punarbhawa disebabkan oleh adanya karma phala dari kehidupan yang lampau dan yang sekarang. Semua makhluk di dunia ini tidaklah bisa melepaskan diri dari siklus kehidupan ini, sehingga setiap masa kehidupan makhluk itu diharapkan dapat membawa dirinya kearah yang lebih sempurna, bukan sebaliknya. Seseorang yang tidak mengikuti aturan hidup yang ditetapkan oleh Sang Penciptamenyebabkan adanya penjelmaan ketingkat yang rendah. Tetapi terhadap mereka yang disiplin mengikuti aturan hidup yang diwahyukan oleh Tuhan dalam kitab suci Weda akan meningkat penjelmaannya. Hubungan karma phala dengan punarbhawa dinyatakan dalam kitab suci sebagai berikut: San rajaih karmadosairyati, sthawaratam narah wacika, paksimrgatam manasair antyajatitam (Manawadharmasastra XII.9) Artinya: sebagai akibat daripada dosanya yang dilakukan oleh badan, seseorang akan menjadi benda tak bernyawa kelak dikelahirannya, kemudian akibat dosa yang dibuat oleh kata-kata akan menjadi burung atau binatang buas dan sebagai akibat dosanya oleh pikiran akan lahir kekelahiran yang rendah. Dewatwamsattwika yanti, manusyatwam ca rajasah, tiryah twam tamasa nityam ityessa triwidha gatih (Manawadharmasastra XII.40) Artinya: mereka yang memiliki sifat-sifat sattwam akan mencapai alam dewata, mereka yang memiliki sifat-sifat rajas mencapai alam manusia dan mereka yang memiliki sifat-sifat tamas akan terbenam pada sifat-sifat binatang, itulah tiga jenis perbuatan. Bila seseorang banyak berbuat dosa dalam hidupnya, maka menderitalah mereka di dunia dan begitupula sesudahnya. Hendaklah seseorang selalu berbuat baik, agar mendapat pahala yang baik pula. Pandanglah kelahiran sebagai manusia merupakan suatu anugrah Tuhan untuk memperbaiki karma.