SMK N 1 SRAGI

Rabu, 27 Juli 2016

Materi Pembelajaran : Susila 
 A. Pengertian Susila 
Tri Kerangka agama Hindu adalah 3 bagian dari inti ajaran agama Hindu, yaitu tattwa (filsafat), susila (etika), dan upacara (ritual). Pada bab ini yang di bahasa adalah bagian kedua dari Tri Kerangka agama Hindu, yaitu Susila / Etika. Susila berasal dari bahasa Sanskerta,yaitu kata “Su” yang artinya baik, dan “Sila” yang artinya tingkah laku. Jadi Susila adalah tingkah laku yang baik. Manusia tidak dapat hidup sendiri dan pasti bergantung dengan orang lain,maka manusia disebut mahluk sosial.Dalam hidup tersebut, perlu adanya suatu peraturan untuk mengatur kehidupan ini. Peraturan dalam bertingkah laku yang baik disebut sebagai Tata Susila, dan Agama merupakan dasar tata susila. Dari semua itu, timbullah suatu ajaran yang disebut “Tat Twam Asi” yang berarti itu adalah engkau (Tuan), semua makhluk itu adalah Engkau, Engkaulah awal mula roh (Jiwatman), dan Sat (prakerti) semua makhluk. Hamba ini adalah makhluk yang berasal dari Mu, oleh karena itu Jiwatmanku dan prakertiku tunggal dengan Jiwatman dan prakerti semua makhluk. Oleh karena itu aku adalah Engkau, aku adalah Brahman “Aham Brahma Asmi” . Demikianlah yang tercantum di dalam kitab Brhadaranyaka Upanisad.Jadi prinsip dasar Susila Hindu adalah adanya satu Atmanyang meresapi segalanya.Bila kamu merugikan makhuk lain,berarti kamu merugikan dirimu sendiri,karena segenap alam tiada lain adalah dirimu sendiri.Di antara makhluk hidup, manusia merupakan makhluk paling istimewa, makhluk yang paling sempurna karena memiliki tri pramana (bayu, sabda, idep). Dengan Idep, manusia mampu membedakan mana yang baik dan mana yang buruk serta mampu melebur perbuatan buruk ke dalam perbuatan baik. Ajaran Susila hendaknya diterapkan di dalam kehidupan kita di dunia ini, karena di dunia inilah tempat kita berkarma.Untuk dapat meningkatkan diri, manusia harus mampu meningkatkan sifat-sifat baik dan mulia yang ada pada dirinya. Pada dasarnya dalam diri manusia ada dua kecenderungan, yaitu kecenderungan berbuat baik dan kecenderungan berbuat buruk. Sri Kresna di dalam kitab Bhagawadgita membagi kecenderungan budhi manusia menadi dua bagian, yaitu : 1. Daiwi Sampad, yaitu sifat-sifat kedewaan. 2. Asuri Sampad, yaitu sifat-sifat keraksasaan. Daiwi Sampad dimaksudkan untuk menuntun perasaan manusia ke arah keselarasan antara sesama manusia, dan sifat seperti inilah yang perlu dibina. Kemudian, kita mengenal sifat-sifat Asuri Sampad (sifat-sifat yang buruk) yang harus kita hindari. Perkembangan kecenderungan sifat-sifat Daiwi Sampad dan Asuri Sampad pada manusia tersebut ada yang timbul karena faktor luar dan ada pula faktor dari dalam diri sendiri serta ada pula dari kedua faktor tersebut. B. Tri Guna Tri Guna adalah tiga sifat yang mempengaruhi tingkah laku manusia,yang terdiri dari : Sattwam adalah sifat tenang, Rajas adalah sifat dinamis, Tamas adalah sifat laman. Tri Guna terdapat pada setiap manusia hanya saja ukurannya berbeda-beda. Tri Guna merupakan tiga macam elemen atau nilai-nilai yang ada hubungannya dengan karakter dari makhluk hidup khususnya manusia. Di dunia ini, tak seorang pun yang luput dari Tri Guna. Ketiga guna tersebut merupakan satu kesatuan yang berkerja sama dalam kekuatan yang berbeda-beda. Perpisahan di anatara tiga guna itu tidak mungkin terjadi karena dengan demikian tidak akan ada suatu gerak apa pun pada manusia. Berdasarkan pengaruh Tri Guna tersebut, sifat-sifat manusia itu ada yang digolongkan ke dalam sifat-sifat yang baik dan ada yang buruk. Namun perlu diingat, di dalam kerja sama antara ketiga guna tersebut sattwamlah seharusnya sebagai pengendali, geraknya dibantu oleh rajah, dan tamah sebagai pengerem. Bila kerjasama antar ketiganya tidak ada, tri guna ini akan menghadapi rintangan. Misalnya pada sifat seseorang tamah lebih dominan dibandingkan yang lain, maka orang tersebut merupakan orang yang memiliki sifat lamban, malas, kurang disiplin. Maka dari itu, sangat diperlukan kerjasama yang baik dan seimbang di dalam Tri Guna. C. Dasa Mala Dasa Mala merupakan salah satu bentuk dari asubha karma selain, Tri Mala, Sad Ripu, Sad Atatayi, dan Sapta Timira. Dasa Mala merupakan sumber dari kedursilaan, yaitu bentuk perbuatan yang bertentangan dengan susila yang cenderung kepada kejahatan. Semua perbuatan yang bertentangan degnan susila hendaknya kita hindari dalam hidup ini agar terhidar dari penderitaan. Bila kita ingin hidup tenang, kita harus melebur perbuatan buruk ke dalam perbuatan baik. Dasa Mala terdari dari : 1. Tandri artinya orang yang maals, suka makan dan tidur saja, tidak tulus, hanya ingin melakukan kejahatan. 2. Kleda artinya berputus asa, suka menunda, dan tidak mau memahami maksud orang lain. Sikap putus asa, suka menunda-nunda suatu pekerjaan adalah merupakan sikap yang didominasi oleh sifat-sifat tamas. 3. Leja artinya berpikiran, bernafsu besar, dan gembira melakukan kejahatan. Pikiran paling menentukan kualitas prilaku manusia dalam kehidupan di dunia ini. pikiranlah yang mengatur gerak sepuluh indria sehingga disebut Raja Indria. Apabila Raja Indria tidak baik maka indria yang lain pun menjadi tidak baik pula. 4. Kutila artinya menyakiti orang lain, pemabuk, dan penipu. Menyakiti dan membunuh makhluk lain, lebih-lebih manusia merupakan perbuatan yang bertentangan dengan ajaran agama. Kutila juga berarti pemabuk. Orang yang suka mabuk maka pikirannya akan menjadi gelap. Pikiran yang gelap akan membuat orang tersebut melakukan hal-hal yang bersifat negatif termasuk menyakiti orang lain, menipu dan sebagainya. Di dalam pergaulan ia akan terlihat kasar dalam berkata atau pun bertindak, suka menyakiti orang lain. 5. Kuhaka artinya pemarah, suka mencari-cari kesalahan orang lain, berkata sembarangan, dan keras kepala. 6. Metraya adalah suka berkata menyakiti hati, sombong, irihati, dan suka menggoda istri orang lain. 7. Megata artinya berbuat jahat, berkata manis tetapi pamrih. Lain dimulut lain dihati, berkata manis karena ada udang dibalik batu, adalah perbuatan yang sering dilakukan oleh orang yang terlalu pamrih. 8. Ragastri artinya bernafsu dan suka memperkosa. Ragastri merupakan sifat-sifat yang bertentangan ajaran agama. Sifat-sifat asuri sampad / sifat-sifat keraksasaan. Memperkosa kehormatan orang lain adalah perbuatan terkutu dan hina. 9. Bhaksa Bhuana artinya suka menyakiti orang lain, penipu, dan hidup berfoya-foya. Berfoya-foya berarti mempergunakan arta melebihi batas normal. Hal ini tidak baik dan melanggar dharma, yang dapat berakibat tidak baik pula. Sering kita lihat di masyarakat, bahwa kekayaan yang berlimpah jika penggunanya tidak didasari oleh dharma pada akhirnya justru menyebabkan orang akan masuk neraka, seperti mabuk, mencari wanita penghibur, dan sebagainya. 10. Kimburu artinya penipu dan pencuri terhadap siapa saja tidak pandang bulu, pendengki dan irihati. Sifat dengan dan irihati merupakan salah satu sifat yang kurang baik (asubha karma) yang patut dihilangkan. Materi Pembelajaran : Tempat Suci A. Pengertian Tempat Suci Setiap agama yang ada di muka bumi ini memiliki tempat suci. Tempat suci bagi penganut agama yang bersangkutan merupakan sarana atau salah satu alat upakara untuk mengadakan kontak atau hubungan kehadapan Tuhan yang dipujanya. Di samping itu, keberadaan tempat suci untuk suatu agama juga merupakan salah satu persyaratan untuk mendapatkan pengakuan dari Negara. Tempat suci umat Hindu disebut dengan nama Pura. Kata pura berasal dari bahasa Sansekerta pur yang artinya kota, benteng atau tempat yang di kelilingi tembok. Berdasarkan arti kata tersebut maka Pura dapat diartikan sebagai tempat yang dikelilingi oleh tembok atau penyengker yang khusus sebagai tempat yang suci. Bentengan tembok itu fungsinya tiada lain adalah sebagai pemisah antara areal yang disucikan dan yang biasa. Meskipun demikian areal yang ada disekitar pura tersebut tetap mesti dijaga kebersihan, keindahan dan ketenangannya demi menjaga kesucian pura itu sendiri. Selain itu tembok penyengker juga berfungsi sebagai pelindung benda-benda yang ada di dalamnya agar tidak mudah terjamah dan tercemari kesuciannya. Tempat suci umat Hindu selain disebut dengan nama pura juga disebut dengan nama Kahyangan atau Parhyangan dan Sanggah atau Merajan. Pura sebagai tempat suci umat Hindu diperkirakan telah digunakan sejak zaman Dalem (sebutan untuk raja-raja Bali keturunan Kresna Kepakisan) berkuasa di Bali. Sebelum dikenal istilah pura, tempat suci sebagai tempat pemujaan Tuhan oleh umat Hindu di Indonesia, Bali, khususnya, dikenal dengan istilah Kahyangan atau Hyang. Pada zaman Bali Kuno, istilah yang digunakan oleh umat Hindu untuk menamakan tempat suci adalah Ulon. Ulon berarti tempat suci yang digunakan untuk mengadakan hubungan dengan Tuhan. Hal ini termuat dan dijelaskan dalam Prasasti Sukawana AI (Tahun 882 M). Demikian pula dalam Prasasti Pura Kehen disebutkan istilah Hyang. Berdasarkan Lontar Usana Dewa, Mpu Kuturanlah yang mengajarkan umat Hindu di Bali membuat Kahyangan Dewa, seperti pemujaan dewa di Jawa Timur. Mpu Kuturan adalah tokoh agama Hindu yang bersal dari Jawa. Beliau datang ke Bali pada masa pemerintahan Raja Marakata dan Anak Wungsu, putra Raja Udayana. Kedatangan Mpu Kuturan ke Bali banyak memberikan perubahan-perubahan pada masyarakat Bali terutama tentang tata cara upacara keagamaan. Beliau mengajarkan tata cara membuat Sad Kahyangan Jagat, Kahyangan Catur Lokapala, Kahyangan Rwabhineda, Pelinggih, Meru, Gedong, dan Kahyangan Tiga di setiap desa adat serta memperbesar Pura Besakih. Selain mengajarkan membuat bangunan secara fisik, beliau juga mengajarkan membuat bangunan secara spiritual, seperti berbagai jenis upacara, pedagingan pelinggih, dan sebagainya seperti dijelaskan dalam lontar Dewa Tattwa. Istana raja-raja di Bali sebelum diperintah oleh Dalem disebut dengan istilah Kedaton atau Keraton. Setelah dinasti Dalem memerintah di Bali, istana raja-raja disebut dengan istilah Pura. Hal ini disebabkan karena apa yang berlaku di Majapahit dilaksanakan juga di Bali sesuai dengan bunyi kitab Negarakertagama 73.3 menyebutkan bahwa apa yang berlaku di Majapahit demikian pula berlaku di Bali oleh dinasti Dalem. Keraton Dalem terletak di Samprangan disebut Lingarsa Pura. Keraton Dalem yang terletak di Gelgel disebut Suweca Pura dan Keraton Dalem yang terletak di Klungkung disebut Semara Pura. Setelah dinasti Dalem berkeraton di Klungkung atau Semara Pura, istilah pura mulai dipergunakan untuk menyebutkan nama tempat suci pemujaan, sedangkan istana raja disebut dengan nama Puri. Demikianlah istilah pura menjadi istilah untuk menyebutkan nama tempat suci bagi umat Hindu di Indonesia sampai sekarang. B. Struktur Pembuatan Tempat Suci Sang Hyang Widhi Wasa (Tuhan Yang Maha Esa) berada dimana-mana, tidak ada tempat yang tidak dipenuhi o leh-Nya. Dalam keadaan demikian, Dia disebut “wyapi-wyapaka nirwikara”. Tuhan Yang Maha Esa ada dimana-mana dan menjiwai alam semesta beserta isinya. Tuhan yang menyebabkan bumi berputar, matahari menguluarkan panas dan bersinar, tanah menghidupkan tumbuh-tumbuhan. Manusia, hewan, dan tumbuh-tumbuhan mengalami lahir, hidup, dan mati. Tuhan yang menciptakan dan menjiwai alam semesta beserta isinya. Wujud nyata dari Tuhan adalah alam semesta ini, sedangkan di alam kosong Beliau disebut Sunya. Alam semesta adalah sthana atau tempatnya Tuhan Yang Maha Esa. Alam semesta ini sangat luas atau abstrak sehingga sulit diketahui secara utuh oleh manusia. Oleh karena itu, umat Hindu membuat simbol yang lebih kongkrit dari alam semesta sebagai tempat dari Tuhan. Melalui simbol-simbol yang tersusun itulah, umat Hindu melaksanakan pemujaan kepada Tuhan. Dalam Kakawin Dharma Sunya disebutkan sebagai berikut : “Bhatara Siva sira suwung, sifat ipun ikang kasar a wujud donya, kaanggap wangun ndi, yen karingkes dados ndi Himalaya, yen karingkes dados meru ndi kadi ning tanah Bali, yen karingkes malih dados titiang.” Artinya: Bhatara Siva amat gaib, sifat nyatanya berbentuk dunia dianggap bangunan itu, kalau diringkas menjadi gunung di Himalaya, kalau diringkas lagi menjadi Meru, seperti di Bali, Meru diringkas lagi menjadi diri kita. Demikianlah, Kakawin Dharma Sunya melukiskan atau menggambarkan alam semesta beserta isinya yang dijiwai oleh Tuhan Yang Maha Esa. Pada mulanya, gunung dianggap seperti stana atau linggih dari Tuhan Yang Maha Esa. Pangkal gunung sebagai simbol alam bawah (bhur loka), badan gunung sebagai alam tengah (bhwah loka) dan puncak gunung dipandang sebagai alam atas (swah loka). Menurut kepercayaan masyarakat Hindu Kuno di Indonesia, gunung dipandang sebagai alam dewa-dewa atau tempat Tuhan Yang Maha Esa. Struktur bangunan tempat suci pada umumnya dibagi menjadi tiga bagian, bhur loka, bhwah loka dan swah loka. Di Bali diwujudkan dengan penataan bangunan tempat suci dalam sebuah areal dibagi menjadi tiga bagian wilayah yang disebut dengan Tri Mandala yaitu : a. Nistha Mandala atau jaba sisi merupakan mandala yang tidak begitu suci karena areal ini merupakan tempat melakukan kegiatan manusia seperti pada umumnya selama kegiatan tersebut tidak melanggar hukum. Pada jaba sisi ini biasanya sebagai tempat parkir, hiburan, tempat berdagang, MCK dan sebagainya. b. Madia Mandala atau jaba tengah adalah areal yang bersifat setengah suci sebagai tempat melakukan kegiatan untuk mempersiapkan perlengkapan bagi pelaksanaan upacara seperti mejejahitan ataupun kegiatan yang lain. Pada Jaba Tengah ini biasanya terdapat bangunan seperti Bale Pesandekan, wantilan ataupun bale tempat gamelan. Akan tetapi meski status jaba tengah setengah suci, tetap mesti dijaga kesucuiannya dengan mengenakan pakian adat kepura bagi setiap orang yang memasukinya dan Mebanyuawang. c. Utama Mandala atau jeroan adalah areal yang paling suci. Setiap orang yang memasuki mandala ini harus memenuhi persyaratan kesucian seperti berpakaian yang semestinya, tidak dalam keadaan cuntaka dan mendapat Banyuawang sebelum masuk ke jeroan. Hal seperti ini penting untuk diperhatikan demi menjaga kesucian Pura itu sendiri. Berdasarkan Keputusan Seminar Kesatuan Tafsir terhadap aspek-aspek agama Hindu, telah ditetapkan pemilihan tempat dan penentuan denah untuk membangun tempat suci adalah sebagai berikut: 1. Membangun pemerajan/sanggah, letaknya di hulu pekarangan rumah. 2. Pura Desa, sebaiknya terletak ditengah-tengah desa pada tempat yang dipandang suci oleh Krama Desa bersangkutan. 3. Pura Puseh letaknya di hulu desa. 4. Pura Desa dan Pura Puseh boleh digabungkan dalam satu areal. 5. Pura Dalem sebaiknya terletak di hilir (teben) desa. 6. Palinggih Prajapati letaknya di hulu setra. C. Bentuk-Bentuk Tempat Suci Tempat suci umat Hindu terdiri atas berbagai macam bentuk. Bentuk-bentuk tersebut ada yang bersifat alami atau buatan. Namun, semua itu mengandung unsur-unsur alam. Pada bentuk tempat suci yang bersifat buatan terpatri unsur seni dari manusia yang dibuat dengan tetap memperhatikan serta menggunakan unsur-unsur alam. Berntuk-bentuk tempat suci umat Hindu yang digunakan untuk memuja kebesaran Tuhan (Sang Hyang Widhi Wasa), antara lain sebagai berikut: 1. Gunung Gunung merupakan bagian dari alam semesta yang diciptakan oleh Tuhan. Sampai saat ini, umat Hindu masih memiliki pandangan dan keyakinan bahwa gunung adalah tempat atau linggih Ida Sang Hyang Widhi Wasa beserta Istha Dewata dan Roh Leluhur yang telah suci. Umat Hindu di India memandang bahwa gunung Maha Meru adalah simbol alam semesta sehingga puncaknya disimbolkan sebagai tempat bersemayamnya Tuhan beserta manifestasi-Nya. Apabila di India, gunung Maha Meru diyakini sebagai tempat bersemayamnya para dewa-dewa, di Jwa gunung Semeru dipercaya oleh umat Hindu Jawa sebagai tempat bersemayamnya Sang Hyang Widhi Wasa beserta manifestasi-Nya, sedangkan di Bali gunung Agung yang dipandang sebagai tempat bersemayamnya Sang Hyang Widhi Wasa. Bagi umat Hindu, gunung adalah simbol alam semesta, tempat puncaknya melambangkan alam atas (swah). Bagian badannya adalah alam tengah (bwah), dan pangkalnya adalah alam bawah (bhur). Disanalah, Bhatara Siva bersemayam. Kitanb Kakawin Dharma Sunya menyebutkan sebagai berikut : “Bhatara Siva = Suwung. Sipat ipun ikang kasar a wujud donya, kanggep wangun ndi, yen karngkes dados meru ndi Himalaya, yen karingkes malih dados meru kadi ring tanah Bali, yen karingkes malih dados tiyang. Artinya: Bhatara Siva = Kosong Sifat kasarnya berbentuk dunia. Dianggap berbangun gunung. Jika diringkas lagi menjadi Meru (Gunung Himalaya), kalau diringkas lagi menjadi Meru seperti di Bali, makin diringkas lagi menjadi manusia. Uraian diatas adalah penggambaran tentang hakikat Bhatara Siva atau Tuhan Yang Maha Esa dalam perwujudannya yang kasar. Sedangkan wujud beliau yang lebih halus dijelaskan sebagai berikut : “Bhatara Siva = Suwung Sipat ipun ikang halus, inggih punika alusing donia, yen karingkes dados alusing ndi meru, yen karingkes dados alusing meru, yen karingkes malih dados alusing manusya. Artinya: Bhatara Siva = Hampa Sifat halusnya ialah halusnya alam. Kalau diringkas menjadi halusnya Meru, kalau diringkas lagi menjadi sangat halusnya Meru, kalau diringkas lagi menjadi halusnya manusia. Berdasarkan uraian dan penjelasan dari Kakawin Dharma Sunya di atas, dinyatakan pada zaman dahulu gunung diyakini sebagai sthana dan isthana Tuhan Yang Maha Esa beserta manifestasi-Nya. Barang kali pandangan ini jugalah yang melatar belakangi mengapa tempat-tempat suci umat Hindu di Bali umumnya dibangun dekat dengan gunung atau menghadap gunung. 2. Lingga Lingga adalah lambang yang digunakan oleh umat Hindu untuk memuja Tuhan dalam manifestasinya sebagai Siva. Lingga adalah lambang Siva. Umat Hindu memiliki banyak sarana dengan berbagai macam bentuk yang digunakan untuk memuja kebesaran Tuhan. Kitab Bhagavadgita menyebutkan sebagai berikut : ye yatha mam prapadyante tam’s tathaiva bhajamy aham mama vartmanuvartante manusyah partha sarvasah. (Bhagavadgita, IV.11) Artinya: Jalan mana pun ditempuh manusia kea rah-Ku semuanya Ku-terima, dari mana-mana semua mereka menuju jalan-Ku oh-Parta. Demikian kitab suci menyebutkan, umat Hindu mendapatkan kebebasan dalam melaksanakan pemujaan kehadapan-Nya. Lingga adalah simbol gunung yang dikenal dengan istilah Linggacala atau lingga yang tetap tidak bergerak. Lingga dan gunung menurut keyakinan umat Hindu digunakan sebagai lambang alam semesta sebagai tempat bersemayamnya Sang Hyang Widhi Wasa. Pura Goa Gajah di daerah Gianyar, Bali, dapat dijumpai Lingga yang berjajar tiga diatas sebuah Yoni, tempatnya di ceruk goa sebelah timur. Lingga tersebut merupakan Lingga yang paling unik dan hanya dijumpai di Goa Gajah. Lingga tersebut diberi nama Tri Lingga. Berdasarkan bahan yang digunakan untuk membuatnya, Lingga dapat dibedakan sebagai berikut: a. Lingga phala (Lingga yang terbuat dari batu). b. Kanaka lingga (Lingga yang terbuat dari emas). c. Spatha lingga (Lingga yang terbuat dari permata). d. Gomaya lingga (Lingga yang terbuat dari tahi sapid an susu), terdapat di India. e. Lingga cala (Lingga sebagai gunung). f. Lingga (dewa-dewi) adalah Lingga yang terbuat dari banten, terdapat di Bali. Berdasarkan bentuknya Lingga dapat dibagi menjadi empat bagian sebagai berikut : a. Bagian puncak Lingga yang berbentuk bulat disebut Sivabhaga Lingga merupakan simbol dari sthana atau linggih dari Bhatara Siva. b. Bagian tengah Lingga yang berbentuk segi delapan disebut Visnubhaga merupakan simbol dari sthana atau linggih Bhatara Visnu. c. Bagian bawah Lingga yang berbentuk segi empat disebut Brahmabhaga merupakan simbol dari sthana atau linggih Bhatara Brahma. d. Dasar Lingga yang berbentuk empat dan pada salah satu sisinya terdapat sebuah saluran menyerupai mulut adalah tempat air dialirkan seperti pancuran. Dasar Lingga ini disebut dengan Yoni. Dari uraian diatas dijelaskan bahwa Sivabhaga, Visnubhaga, dan Brahmabhaga sebagai bagian dari Lingga yang melambangkan Purusa. Dasar Lingga yang disebut Yoni melambangkan Pradana. Pertemuan antara Purusa dan Pradana disebut juga sebagai pertemuan antara Akasa dan Prthiwi. Inilah yang mengakibatkan terjadinya kesuburan. Kesuburan yang dianugrahkan oleh Tuhan merupakan sumber dari kemakmuran umat manusia (umat Hindu). 3. Candi Candi merupakan salah satu karya manusia yang menurut pandangan umat Hindu adalah simbol alam semesta. Candi merupakan salah satu hasil budaya bangsa Indonesia yang memiliki nilai seni dan religi yang tinggi. Pemujaan umat Hindu kehadapan Sang Hyang Widhi Wasa ketika kebudayaannya belum maju menggunakan cara yang sangat sederhana. Cara yang dimaksud seperti menggunakan gunung sebagai lambang alam semesta tempat bersemayam Sang Hyang Widhi Wasa. Dengan majunya peradaban manusia, kemudian gunung disimbolkan dengan candi. Gunung dipakai sebagai tempat suci oleh umat Hindu untuk memuja Tuhan dan candi merupakan bentuk tiruan (replica) dari gunung (Gunung Maha Meru). Dilihat dari bentuknya, candi melambangkan alam semesta dengan ketiga bagiannya. Atap candi melambangkan alam atas (swah loka), badan candi melambangkan alam tengah (bwah loka) dan kaki candi melambangkan alam bawah (bhur loka). Pada bagian lain, ada kepercayaan bahwa seorang penguasa atau raja merupakan penjelmaan atau reinkarnasi dari salah satu dewa. Dengan demikian, jika ia meninggal dunia dan dilaksanakan upacara penyucian terhadap rohnya, atma dari raja tersebut dipandang akan manunggal dengan dewa yang berinkarnasi. Dalam upaya melakukan pemujaan kepada roh yang telah dipandang suci itu dibuatlah arca perwujudan dengan mengambil bentuk menyerupai dewa yang berinkarnasi. Guna menempatkan arca perwujudan itu maka dibuatkan bangunan. Kitab Negara kertagama, Pararaton, dan prasasti-prasati yang terdapat di Indonesia menyebutkan bentuk bangunan seperti diatas dengan nama Dharma atau Sang Hyang Sudharma. Bentuk bangunan ini dalam perkembangan selanjutnya lebih populer disebut dengan nama candi. Pada zaman raja-raja Hindu di Indonesia, upaya dan usaha untuk membangun candi tumbuh dan berkembang dengan sangat pesat, antara lain, Candi Badut, Candi Jago, Candi Singosari, Candi Panataran, Candi Perwara, Candi Bajang Ratu, dan lainnya. Di Bali terdapat Candi Gunung Kawi. Candi-candi tersebut difungsikan sebagai tempat untuk memuja roh yang telah disucikan. 4. Meru Candi sebagai tempat suci untuk memuliakan Tuhan dengan prabhawanya mengalami perkembangan dan perubahan menjadi Meru. Sampai saat ini, perkembangan bentuk bangunan itu masih dapat kita lihat di Bali. Meru memiliki atap bertingkat-tingkat dari tingkat satu, tiga, lima, tujuh, Sembilan, sebelas. Meru masih tetap mencerminkan pembagian Tri Loka sebagaimana yang terdapat pada bentuk candi. Meru merupakan simbol atau lambang andhabhuana atau alam semesta. Tingkatan atapnya melambangkan lapisan alam besar dan alam kecil (makrokosmos dan mikrokosmos). Meru adalah lambang alam semesta sebagai tempat bersemayam Sang Hyang Widhi Wasa beserta manifestasi-Nya. Meru adalah lambang gunung Maha Meru. Gunung merupakan lambang alam semesta sebagai linggih atau sthana Sang Hyang Widhi Wasa beserta manifestasi-Nya secara objektif. Uraian tentang Meru sebagai lambang gunung juga dijelaskan dalam Lontar Andhabhuana Lontar Tantu Pagelaran, Kakawin Dharma Sunya, dan Lontar Usana Bali. Tingkatan-tingakat atap Meru merupakan simbol dari penggabungan Dasaksara. Dasaksara adalah simbol berupa huruf sebagai jiwa seluruh bagian dari alam semesta ini (hurip bhuana) disebutkan ada sepuluh huruf suci sebagai hurip bhuana yang diletakkan I seluruh penjuru alam semesta ini dan dua di anatara huruf suci itu ditempatkan pada arah tengah. Adapun kesepuluh huruf-huruf suci tersebut antara lain : - Sa bertempat di arah timur. - Ba bertempat di arah selatan - Ta bertempat di arah barat. - A bertempat di arah utara. - I bertempat di arah tenga. - Na bertempat di arah tenggara. - Ma bertempat diarah barat daya. - Si bertempat diarah barat laut. - Wa bertempat diaraah timur laut. - Ya bertempat di arah tengah. Penggabungan dari sepuluh huruf suci tersebut menghasilkan satu huruf suci yaitu, OM (Omkara). Dengan demikian, tingkatan-tingkatan pada atap Meru apabila dihubungkan dengan keberadaan huruf-huruf suci (lambang Ekadasa Dewata) terdapatlah bangunan meru yaitu sebagai berikut: - Meru beratap tingkat 9 merupakan lambang 8 huruf yang menempati 8 penjuru alam semesta ditambah satu huruf Omkara pada arah tengah menjadi 9 huruf suci sebagai lambang Dewata Nawa Sanga. - Meru beratap tingkat 7 merupakan lambang 4 huruf yang menempati 4 penjuru alam semesta ditambah tiga huruf yang menempati arah tengah yaitu, I, Om, Ya, menjadi tujuh huruf suci sebagai lambang Sapta Dewata atau Sapta Rsi. - Meru beratap tingkat 5 merupakan lambang dari 4 huruf menempati 4 penjuru alam semesta ditambah satu huruf Omkara yang menempati arah tengah menjadi 5 huruf suci sebagai lambang Panca Dewata. - Meru beratap tingkat 3 merupakan lambang dari 3 huruf yang menempati arah tengah yaitu I, Om, Ya, yang merupakan lambang dari Tri Purusa, yaitu Siva, Parama Siva, dan Sada Siva. - Meru beratap tingkat 2 merupakan lambang 2 huruf yang menempati arah tengah yaitu I dan Ya yang merupakan lambang dari Purusa dan Pradana. - Meru beratap tingkat 1 adalah lambang dari huruf Om yang merupakan lambang dari Sang Hyang Widhi Wasa yang Tunggal. - Meru beratap tingkat 11 merupakan lambang 11 huruf suci, yaitu, Sa, Ba, Ta, A, I, Na, Ma, Si, Wa, Ya, dan Om yang merupakan lambang dari Eka Dasa Dewata. Meru merupakan lambang ibu dan bapak. Istilah ibu dan bapak berdasarkan Lontar Andhabhuana dimaksudkan bahwa kata ibu mengandung makna Ibu Pertiwi. Artinya, unsur pradhana tattwa dan kata bapak mengandung makna Aji Akasa yaitu unsur purusa tattwa. Pertemuan antara Purusa dengan Pradhana menyebabkan munculnya kekuatan maha besar yang menyebabkan terciptanya alam semestra ini beserta isinya. Hal inilah yang dijadikan sebagai landasan pembangunan Meru yang difungsikan sebagai tempat untuk melaksanakan pemujaan roh suci leluhur yang bersemayam dilingkungan komplek Pura Besakih. Berdasarkan bentuknya, bangunan Meru yang dipergunakan untuk melaksanakan pemujaan kehadapan para dewa dengan roh suci leluhur sangat sulit dibedakan. Lontar Hastakosala membedakan bangunan Meru berdasarkan ukuran sikut yang dipakai untuk membangunnya, sedangkan Lontar Dewa Tattwa membedakannya berdasarkan pedagingan yang diisi atau disimpan pada bangunan Meru dan tempat suci atau pelinggih lainnya. 5. Padmasana Padmasana berasal dari kata padma dan asana. Padma berarti bunga teratai. Asana berarti tempat duduk. Dengan demikian padmasana adalah tempat duduk dari bunga teratai. Dalam pandangan umat Hindu, padmasana diartikan sebagai simbolis dari alam semesta sebagai istananya Sang Hyang Widhi Wasa yang dibangun dalam bentuk bangunan yang menjulang tinggi. Penemuan sejarah bidang agama menyebutkan bahwa para Dewa Hindu dilukiskan sebagai arca yang duduk diatas bungai teratai. Patung-patung dewa yang digambarkan duduk diatas bunga teratai banyak kita jumpai pada masa pemerintahan raja-raja Kediri, Singasari, Majapahit serta raja-raja Hindu di Bali. Bunga teratai memiliki helai daun berjumlah delapan delapan dan dapat dihubungkan dengan Asta Iswarya yaitu para dewa yang menguasai delapan penjuru arah dari alam semesta ini. Bunga teratai juga memiliki sifat dapat hidup pada tiga lapisan alam, seperti akarnya hidup didalam lumpur, daunnya hidup di arid an bunganya di udara. Ini dapat dihubungkan dengan Tri Bhuana yaitu bhur, bhwah, swah. Bunga teratai juga disebut dengan nama “Pangkaja” yang artinya lahir dari lumpur. Beberapa kitab Purana menceritakan bahwa para dewa muncul dari padmasana. Padmasana itu adalah lambang dari gunung Maha Meru yang juga sebagai simbol alam semesta tempat bersthananya Sang Hyang Widhi Wasa. Dalam kenyataannya, bentuk bangunan padmasana seperti yang sering kita lihat di Bali (khususnya) adalah sebuah bangunan yang menjulang tinggi berbentuk Bedawang Nala yang dililit oleh dua ekor naga (Naga Besuki dan Naga Anantha Boga). Pada bagian tengah-belakang terdapat lukisan burung Garuda, di atasnya terdapat burung angsa, dan pada bagian samping kiri dan kanan dari singgasana terdapat lukisan Naga Taksaka. Dari seluruh bentuk bangunan itu, kita tidak dapat melihat lukisan padma. Untuk mengetahui semuanya itu, ada baiknya kita memperhatikan puja yang digunakan oleh pendeta (Siva-Buddha) pada saat mensthanakan (ngelinggihang) Sang Hyang Widhi Wasa. Di dalam Lontar Widhi Sastra menyebutkan tentang jenis-jenis pedagingan tempat suci, seperti Padmasana, Meru, Gedong, serta bangunan suci lainnya. Dalam jenis-jenis pedagingan inilah, kita jumpai bentuk pedagingan berupa padma. Pedagingan padmasana selengkapnya adalah banten suci, peras, dan lain-lainnya merupakan benda berbentuk logam dari Panca Datu, sebagai akar pesimpenan adalah uang kepeng. Logam diwujudkan sebagai kuwali yang melukiskan catur lokaphala, yaitu lukisan segi empat atau singsana sebagai lambang istana Tuhan Yang Maha Esa. Pada bagian belakang-tengah bangunan padmasana dihiasi dengan lukisan burung Garuda. Burung garuda adalah lambang dari perjuangan untuk mendapatkan kebebasan dengan mencari air kehidupan atau tirtha amertha. Pada bagian belakang padmasana, diatas burung garuda dilukiskan burung angsa yang sedang mengembangkan kedua sayapnya. Lontar indik tetandingan menjelaskan bahwa lukisan angsa adalah simbol dari Ongkara. Kedua sayapnya yang sedang mengembang melukiskan Ardha Chandra, yaitu bulan sabit. Badannya yang bulat melukiskan Windu, sedangkan leher dan kepalanya yang menjulur keatas melambangkan Nada. Angsa adalah jenis burung yang dalam tradisi Hindu digunakan sebagai lambang untuk melukiskan Ongkara, yaitu aksara suci Hindu. Padmasana dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu sebagai berikut : a. Padmasana Berdasarkan Tempatnya. Dalam Lontar Wariga Catur Winasasari disebutkan berdasarkan tempatnya, bangunan padmasana di klasifikasikan menjadi 9 macam, antara lain sebagai berikut : - Padma Kencana adalah padmasana yang terletak disebelah timur dan menghadap kearah barat. - Padmasana adalah padmasana yang terletak disebelah selatan dan menghadap ke arah utara. - Padmasari adalah padmasana yang terletak disebelah barat dan menghadap kea rah timur. - Padmalingga adalah padmasana yang terletak disebelah utara dan menghadap kearah selatan. - Padma Asta Sodana adalah padmasana yang terletak disebelah tenggara dan menghadap kearah barat laut. - Padma Noja adalah padmasana yang terletak disebelah barat daya dan menghadap kearah timur laut. - Padma Karo adalah padmasana yang terletak disebelah barat laut dan menghadap kearah tenggara. - Padma Saji adalah padmasana yang terletak di sebelah timur laut dan menghadap kearah barat daya. - Padma Kurung adalah padmasana yang terletak ditengah-tengah menghadap kearah pintu keluar (Lawangan). Kesembilan padmasana ini merupakan perwujudan yang konkrit dari ajaran agama Hindu yang meyakini bahwa Sang Hyang Widhi Wasa berada di mana-mana (wyapi-wyapaka nirwikara). b. Padmasana Berdasarkan Rong (ruang) dan Palihnya (tingkatanya) Berdasarkan jumlah ruang dan tingkatannya, bangunan padmasana diklasifikasikan menjadi 5 macam yang teridiri dari yaitu sebagai berikut : • Padma Anglayang adalah padmasana yang memiliki tiga ruangan dan menggunakan dasar Bedawang Nala dan memakai palih tiga. • Padma Agung adalah padmasana yang memiliki ruangan dua dan memakai dasar Bedawang Nala dan menggunakan palih lima. • Padmasana adalah padmasana yang memiliki satu ruangan dan menggunakan dasar Bedawang Nala dan memakai palih lima. • Padmasari adalah padmasana yang memiliki satu ruangan, tidak memakai dasar Bedawang Nala, dan menggunakan palih tiga, yaitu palih taman, palih sacak, dan palih sari. • Padmacapah adalah padmasana yang memiliki ruangan satu, tidak memakai Bedawang Nala, dan mempergunakan palih dua. Dijelaskan juga bahwa bangunan Padmasari dan Padmacapah dapat ditempatkan secara menyendiri dan difungsikan hanya sebagai penyawangan atau penghayatan. Pedagingan yang dipakai untuk Padmasari dan Padmacapah pada umumnya hanya pedagingan dasar (bawah). Sedangkan bangunan Padmasana yang lainnya mempergunakan tiga pedagingan, yaitu pada bagian dasar (bawah), tengah, dan atas dari bangunan itu. f. Pura 1. Pengertian Pura Pura adalah tempat suci umat Hindu untuk memuja Sang Hyang Widhi Wasa. Selain itu pura juga merupakan benteng umat Hindu yang bersifat rohaniah agar terlepas dari pengaruh-pengaruh yang kurang baik dalam kehidupan ini. Pura sebagai tempat suci pada umumnya dibagi menjadi tiga areal dalam satu komplek berbentuk garis horizontal. Adapun areal pura yang dimaksudkan adalah sebagai berikut: • Jeroan merupakan areal atau bagian terdalam dari pura. Bagian ini diletakkan atau dibangun pelinggih-pelinggih utama yang melambangkan alam atas dan Swah Loka. • Jaba Tengah merupakan bagian tengah dari pura. Areal ini melambangkan bagian tengah dari alam semesta yang disebut Bhwah Loka. • Jaba Sisi merupakan bagian luar dari pura. Areal ini melambangkan alam bawah dari alam semesta yang disebut Bhur Loka. Berdasarkan fungsinya, pura dikelompokkan menjadi dua yaitu sebagai berikut: • Pura Jagat (umum) adalah pura yang berfungsi sebagai tempat suci untuk memuja Sang Hyang Widhi Wasa beserta segala macam prabhawa-Nya. • Pura Kawitan (khusus) adalah pura yang berfungsi sebagai tempat suci untuk memuja Atma Sidha Dewata (roh suci leluhur). 2. Jenis-jenis Pura • Pura Teritorial Pura ini memiliki memiliki cirri-ciri kesatuan wilayah sebagai tempat pemujaan suatu desa pakraman atau adat. Pura territorial ini disebut juga Pura Kahyangan Desa. Penyungsung Pura Kahyangan Desa ini terbatas pada suatu wilayah tertentu dan disungsung oleh umat (krama) desa adat atau pekraman yang ada pada wilayah yang bersangkutan saja. Ciri khas suatu desa prakraman / adat adalah memiliki tiga pura disebut pura Kahyangan tiga. Pura Kahyangan Tiga adalah tempat suci umat Hindu yang difungsikan untuk melaksanakan pemujaan kehadapan kehadapan Sang Hyang Widhi Wasa dalam prabhawa-Nya atau manifestasi-Nya sebagai Tri Wisesa atau Tri Murti. Jenis pura yang tergolong Kahyangan Tiga itu adalah sebagai berikut : a. Pura Desa atau Pura Bale Agung Pura Desa atau Pura Bale Agung merupakan tempat suci umat Hindu untuk memuja Sang Hyang Widhi Wasa dalam manifestasi-Nya sebagai Dewa Brahma. Dewa Brahma merupakan prabhawa Sang Hyang Widhi Wasa sebagai pencipta, yaitu menciptakan segala yang ada di alam semesta ini. b. Pura Puseh Pura Puseh merupakan tempat suci umat Hindu untuk memuja Sang Hyang Widhi Wasa dalam manifestasinya sebagai Dewa Visnu. Dewa Visnu merupakan prabhawa Sang Hyang Widhi Wasa sebagai pemelihara semua ciptaan-Nya. c. Pura Dalem Pura Dalem merupakan tempat suci umat Hindu untuk memuja Sang Hyang Widhi Wasa dalam prabhawanya sebagai Dewa Siva. Dewa Siva merupakan manifestasi Sang Hyang Widhi Wasa dalam fungsinya sebagai pemralina atau pelebur, yang disebut Dewi Durga. Desa adat atau pakraman yang terdapat di Bali memiliki tanggung jawab moral dan material terhadap keberadaan Pura Kahyangan Tiga yang ada diwilayahnya. Disamping Pura Kahyangan Tiga, terdapat pula pelinggih d. Pura Prajapati. Pura Prajapati merupakan tempat pemujaan Sang Hyang Widhi Wasa dalam prabhawanya sebagai Sang Hyang Prajapati. Pura Prajapati disebut juga Pura Ulu Setra atau Kuburan. Pura ini juga yang menjadi tanggung jawab desa adat atau pakraman khususnya ada di Bali. • Pura Swagina atau Pura Fungsional Pura Swagina adalah tempat suci umat Hindu untuk melakukan pemujaan kehadapan Sang Hyang Widhi Wasa beserta manifestasi-Nya yang para penyungsungnya terikat oleh ikatan swagina atau kekaryaan yang mempunyai profesi sama dalam system mata pencarian hidup. Berbagai jenis puranya, seperti Pura Bedugul, Pura Subak (Ulun Suwi), Pura Melanting, dan pura lainnya yang sejenis. • Pura Kawitan atau Pura Keluarga Pura kawitan adalah pura yang penyungsungnya ditentukan oleh ikatan wit atau leluhur berdasarkan garis kelahiran (Geneologis). Jenis puranya, seperti Sanggah atau Merajan, Pura Ibu, Pura Panti, Pura Dadia, Pura Pedharman, dan Pura lainnya yang sejenis. D. Fungsi Tempat Suci • Sebagai lambang alam semesta. • Sebagai sarana pemujaan Tuhan beserta prabhawa-Nya. • Sebagai sarana pemujaan roh suci leluhur. • Sebagai sarana menumbuhkan keterampilan yang berkualitas. • Sebagai tempat mengembangkan seni budaya. • Sebagai tempat membina sraddha umat. • Sebagai tempat menata kehidupan social umat. • Sebagai tempat membina ketahanan rohani dan jasmani umat. • Sebagai tempat menyelenggarakan yajna. E. Pelestarian Tempat Suci • Melaksanakan Panca Yajna • Membangun Tempat Suci • Menjaga Kesucian Tempat Suci • Menjaga Keasrian tempat suci Materi Pembelajaran : Sraddha A. pengertian Atman Atman atau Atma Ātmā, berasal dari bahasa Sansekerta dalam Hindu merupakan percikan kecil dari Brarman/Hyang Widhi yang berada di dalam setiap makhluk hidup. Atman di dalam badan manusia disebut: Jiwatman atau Jiwa atau Roh yaitu yang menghidupkan manusia. Demikianlah atman itu menghidupkan sarwa prani (makhluk di alam semesta ini).Indra tidak dapat bekerja bila tidak ada atman.Atman itu berasal dari Brahman/Hyang Widhi, bagaikan Matahari dengan sinarnya. Brahman sebagai matahari dan atman-atman sebagai sinar-Nya yang terpencar memasuki dalam hidup semua makhluk. Atman berfungsi sebagai: - Sebagai sumber hidup citta (alam pikiran) dan stula sarira (badan wadag) dari segala mahluk - Bertanggung jawab atas baik buruknya perbuatan (karma) dari segala mahluk - Menjadi sumber hidup suksma sarira (badan halus) dari segala mahluk B. Sifat-sifat Atman Atman merupakan bagian dari Tuhan/tunggal adanya dengan Tuhan. Seperti halnya Tuhan yang memiliki sifat–sifat khusus, atman juga mempunyai sifat–sifat, seperti yang tertuang dalam kitab Bhagawad Gita, yakni : na jayate mriyate va kadacin nayam bhutva bhavita van a bhuyah ajo nitya sasvato yam purano na hayate hayamane sarire (Bhagawad Gita II.20) artinya : Ia tidak pernah lahir dan juga tidak pernah mati atau setelah ada tak akan berhenti ada. Ia tak dilahirkan, kekal, abadi, sejak dahulu ada; dan Dia tidak mati pada saat badan jasmani ini mati. nai nam chindanti sastrani nai namdahati pawakah na cai nam kledayanty apo na sosayati marutah (Bhagawad Gita II.23) artinya : Senjata tak dapat melukai-Nya, dan api tak dapat membakar-Nya, angin tak dapat mengeringkan-Nya dan air tak dapat membasahi-Nya. acchedyo yam adahyo yam akledyo sasya eva ca, nittyah sarwagatah sthanur acalo yam sanatanah (Bhagawad Gita II.24) artinya : Sesungguhnya dia tidak dapat dilukai, dibakar dan juga tak dapat dikeringkan dan dibasahi; Dia kekal, meliputi segalanya, tak berubah, tak bergerak, dan abadi selamanya. Avyakto yam acityo yam avikaryo yam ucyate, tasmad evam viditvainam nanusocitum arhasi (Bhagawad Gita II.25) artinya : Dia tidak dapat diwujudkan dengan kata–kata, tak dapat dipikirkan dan dinyatakan, tak berubah–ubah; karena itu dengan mengetahui sebagaimana halnya, engkau tak perlu berduka. Berdasarkan uraian sloka–sloka Bhagawad Gita diatas dapat disimpulkan sifat–sifat atman sebagai berikut : 1. acchedya berarti tak terlukai senjata, 2. adahya berarti tak terbakar oleh api, 3. akledya berarti tak terkeringkan oleh angin, 4. acesya berarti tak terbasahkan oleh air, 5. nitya berarti abadi, 6. sarwagatah berarti ada di mana-mana, 7. sathanu berarti tidak berpindah – pindah, 8. acala berarti tidak bergerak, sanatana berarti selalu sama dan kekal, 9. awyakta berarti tidak dilahirkan, 10. achintya berarti tak terpikirkan, 11. awikara berarti tidak berubah, 12. sanatana berarti selalu sama. B. Hubungan antara Atman dengan Brahman Ada beberapa sloka yang memberikan penjelasan tentang hugungan Brahman dengan Ataman: Sariram brahma pravisat sarire-adhi prajapatih (Atharwa Weda XI. 8.30) Artinya: Sang hyang Widhi Wasa memasuki tubuh manusia dan dia menjadi raja tubuh itu. Iyam kalyani ajara martyasyaamerta grahe (Atharwa Weda X. 8. 26) Artinya: Dewa yang kekal dan bertuah itu bertempat tinggal didalam tubuh manusia yang fana. Aham atma gudakesa,sarvabhutasyasthitah aham adis cha madhyam cha, butanam anta eva cha (Bhagawad Gita X. 20) Artinya: Oh arjuna, aku adalah atman yang menetap dalam hati semua mahluk, aku adalah permulaan, pertengahan, dan akhir dari semua mahluk. Pada dasarnya Ataman adalah Brahman yang seutuhnya. Namun karena keterbatasan kemampuan seseorang tidak mengetahui bahwa Ataman yang ada pada dirinya itu sesungguhnya adalah Brahman. Brahman (Atman) sebagai sumber hidup, sedangkan alam pikiran dan badan wadahnya adalah alat untuk hidup. Badan/tubuh manusia terdiri dari tiga lapisan badan yang disebut Tri Sarira: 1. Sthula Sarira yaitu badan kasar terdiri dari: tulang, daging, otot, sumsum, darah, dan kulit, yang semuanya itu dibentuk oleh unsur-unsur Panca Mahabhuta. 2. Suksma Sarira yang dibentuk oleh Budhi, Manah, dan Ahamkara. 3. Antahkarana Sarira yaitu badan penyebab. Ketiganya ini baru bekerja menurut sifatnya masing-masing, apabila mendapat sinar cahaya dari Jiwatman.